Menunggu Imam
20 Mei 2017 (True Story)
Alkisah. Tadi sore dalam perjalanan pulang pasca
tugas piket di kantor. Karena perjalanan pulang dari Ciledug menuju Cikupa
butuh waktu lebih dari 1 jam, dan karena tadi baru pulang dari kantor jam
17:30, sampailah saya di setengah perjalanan. Tepatnya daerah Jati. Jam sudah
menunjukkan pukul 18:07, sudah maghrib rupanya. Bimbang, melanjutkan perjalanan
dengan konsekuensi memacu gas motor lebih gesit agar tiba di rumah maksimal Pkl
18:30 (sangat telat shalat maghrib), atau singgah sejenak di musholla. Tik, tak.
Tik, tak. Akhirnya diambil keputusan untuk sholat maghrib sebelum melanjutkan
perjalanan. Melipirlah si tangguh Mega Pro di SPBU. Ternyata mushollanya sudah
penuh oleh jamaah maghrib yang juga singgah sejenak di sana. Segera lepas alas
kaki untuk ambil wudhu, di depan saya ada satu orang yang lebih dahulu berjalan
di depan mengambil wudhu. Ada satu orang sudah berdiri di luar pintu musholla,
sepintas diamati bermata agak sipit berkulit lumayan cokelat, mukanya masih
basah dengan air wudhu. Selesai berwudhu, orang itu masih berdiri di luar,
padahal jamaah maghrib sudah beres, bubar barisan. Satu persatu masuk ruang
musholla yang sempit, hanya cukup sekira 5 orang. Tapi tiba-tiba diam. Saling
pandang, saling tunjuk, saling mempersilakan berdiri di depan, jadi imam. Dua
orang lelaki tadi langsung ambil langkah seribu berdiri di barisan belakang
(posisi makmum). Saya ikut menjejeri mereka sebagai tanda ingin menjadi makmum.
"Ayo, mas. Silakan." Minta saya pada
lelaki yang agak sipit tadi membuka percakapan.
"Ooh, silakan. Mas saja, saya masih baru."
Jawab dia menolak halus.
'Masih baru? Apa mungkin lelaki ini seorang muallaf
ya?' Bertanya dalam hati
"Ayo, mas. Silakan." Minta saya pada
lelaki kedua yang berwajah pribumi kira-kira berusia 40an.
"Mas saja, silakan." Jawab si lelaki kedua
tadi.
Haduuuuh. Gawat ini. Biasanya jikalau ada yang
ditawari menjadi imam suka ada saja yang langsung kepedean maju menjadi imam.
Meski tak jarang berujung kekecewaan sih. Entah karena bacaannya yang belum
bisa dikatakan lulus uji makhraj, tartil/tahsin, atau tergesa-gesa
menyelesaikan shalatnya, padahal sedang shalat berjamaah, bukan munfarid. Hilang deh tumakninah
di tiap gerakan shalat. Banyak mengurangi nilai kesempurnaan shalat.
Hmmm... baiklah. Karena hanya bertiga, mau berbuat
apalagi?
"Yaudah, mas. Qomat ya." Minta saya pada
dua orang lelaki tadi.
Diucapkanlah Iqomah oleh si lelaki kedua berwajah
pribumi tadi. Dan alhamdulillah, dari sini saya baru tahu, ternyata dia memang
tak terlalu fasih mengucapkan bacaan iqomah dan cenderung terdengar kurang pas.
Bagaimana jadinya jika dia tadi nekat jadi imam?
Jadilah dalam situasi itu saya jadi imam dadakan,
darurat. Enggan jadi imam bukan tanpa alasan. Bukan karena tidak menguasai
bacaan (makhraj, tahsin, tajwid), in syaa Allah hal itu bisa dilalui. Tapi saya
selalu mengukur kepantasan diri menjadi imam sholat. Hafalan surat-surat pendek
sudah banyak yang bolong-bolong tak sempurna, alias lupa sana-sini. Masih banyak yang lebih tua
dengan kapasitas baik menjadi imam. Dan yang paling menjadi keengganan saya
menjadi imam adalah karena merasa diri ini masih banyak alpa, banyak dosa.
Itulah kira-kira.
Alhamdulillah shalat maghrib bisa dilalui dengan baik dan tidak tergesa-gesa. Sebab saya yang jadi imamnya. Woles. Hehehe. 😆
Usai shalat maghrib, langsung bergegas memakai jaket
dan mengenakan tas. Bersiap melanjutkan perjalanan pulang. Sampai di parkiran,
bertemu lelaki bermata sipit tadi. Sedang berbicara dengan seorang perempuan.
Istrinya sepertinya. Sama bermata sipit. Tapi jelas identitasnya, keturunan
tionghoa. Terlihat jelas dari warna kulit yang sangat putih mencolok, berbeda
dengan suaminya yang berkulit agak cokelat. Ternyata mereka bergantian
sholatnya. Dan terjawab sudah pertanyaan tadi. Dia ternyata seorang muallaf
keturunan tionghoa. 👲
Lega sudah dalam melanjutkan perjalanan pulang ke
rumah. Tak ada beban di pikiran dan tak terburu-buru. Alhamdulillah
——————————————————
| Ampuni hambaMu yang penuh alpa dan dosa ini ya
Allah |
Komentar
Posting Komentar