'Mang Aca'

 



Sebut saja ia ‘Mang Aca’, lelaki yang usianya sudah melebihi paruh baya. Ia adalah seorang pedagang sate. Eh, maaf, satai maksudnya. Bisa dijewer saya nanti oleh Ivan Lanin (penulis buku Recehan Bahasa). Sebab dalam KBBI, sate bukanlah bahasa baku, melainkan yang benar adalah satai. Mungkin karena satai sudah sangat identik dan khas dengan Madura. Sehingga umumnya masyarakat lebih familiar dengan sebutan ‘sate’. Bahkan ada saja guyonan yang kemudian diplesetkan jadi ‘te sate’ meniru cara berbicara logat Madura. Entahlah.

Kembali lagi ke ‘Mang Aca’. Yup, Mang Aca ini asli orang Karawang (USA), beliau sudah berdagang satai ayam beserta lontong sedari usia muda. Mungkin sudah lebih dari 30 tahun lamanya. Itu terungkap saat kami berbincang ringan pada suatu malam kala saya menunggu satai pesanan saya sedang diproses.


“Mang, jualan sate dari kapan emang?” Tanya saya kala itu mengawali obrolan

“Wah. Dari masih muda juga udah jualan.”

“Udah berapa puluh tahun sampe sekarang?”

Sengaja saya langsung tembak dengan pertanyaan di angka puluhan, sebab saya tahu persis beliau ini sudah sangat lama sekali berdagang satai, sejak saya masih anak-anak. Bahkan saat lokasi KM 13,8 Kp. Cirewed masih dipenuhi pohon liar yang mengelilingi empang pun dia sudah berjualan.

“Udah lama. Dari masih ada empang di Cirewed situ saya udah jualan, yang di samping pabrik itu.” Jawabnya sembari mengingat suasana saat itu yang menjadi tandanya untuk dijelaskan. Sebab beliau tidak tahu persis sudah berapa lama berjualan satai ayam. Sudah lupa.

“Oo. Itu empang punya Kakek saya, Mang. Haji Samar. Saya sering mincing di situ dulu. Tapi sekarang udah diurug jadi kontrakan.” Timpal saya kemudian menjelaskan atas jawabannya tadi.

“Oh. Haji Samar masih Kakeknya?”

“Iya, Mang.”

Ya, empang itu adalah sedikit saksi masa kecil saya waktu itu. Empang yang dimiliki Kakek saya mungkin seluas 250 meter persegi. Di sekeliling empang itulah dahulu biasa bermain. Entah asyik memancing, memanjat pohon kelapa, bermain layangan, ataupun permainan melempar batu terbang di atas air, ada yang masih ingat permainan ini?

“Oiya, Mang. Ini jualan satenya dari jam berapa?” Tanya saya melanjutkan obrolan

“Dari sore sampe malem aja. Paling setengah 5 atau jam 5 sore udah di sini.”

“Trus pulang jam berapa, Mang?” Tanya saya penasaran

“Kadang jam 8 kadang jam 9 malem juga udah pulang.”

“Abis terus itu jualannya?”

“Alhamdulillah.”

“Kalo pulang kemana, Mang?” Tanya saya melanjutkan

“Ke Balaraja.” Jawabnya singkat

“Hah? Balaraja? Bukannya rumahnya deket sini, ya?”

Mendadak terkejut mendengar jawabannya yang pulang ke Balaraja.

“Enggak. Tiap hari juga pulangnya ke Balaraja.” Jawabnya menjelaskan

“Beneran, Mang?” Tanya saya sekali lagi memastikan.

“Iya, dari dulu pulangnya ke sana.” Tegasnya

“Kirain rumahnya deket sini, Mang.”

“Nggak ada. Rumahnya di Balaraja dari dulu.”

“Trus, naik angkot pulangnya?”

“Iya.”

Penjelasannya kemudian lebih membuat saya heran. Jadi, selama puluhan tahun berjualan, tiap hari Mang Aca pergi-pulang Balaraja-KM, KM-Balaraja. Naik angkot pula. Dari zamannya pasar Cikupa yang dahulu tumpah ruah ke jalan raya hingga sudah lancar seperti saat ini.  Jarak antara KM-Balaraja kurang lebih 13-14 KM. Dan beliau melakoni profesinya itu setiap hari? Membawa serta panggulan jualan satainya. Ow, luar biasa.

“Anak ada berapa, Mang?”

“Ada 5.”

“Kerja apa jualan juga?”

“Anak pertama jualan sate juga di pasar Cikupa. Anak kedua jualan di Balaraja Cuma udah pake gerobak. Anak ketiga cewek ikut suaminya, jualan juga. Anak ketiga, jualan sate di KM situ. Anak paling bontot cowok, masih sekolah SMK.” Penjelasannya kemudian

Deg. Betapa terkagumnya saya saat itu. Empat dari lima anaknya meneruskan profesi orang tuanya yang seorang pedagang. Ingat, pedagang itu profesi hebat lho. Tak semua orang bisa melakoni dan mau melakoni profesi itu. Hanya ia yang bermental baja mau melakoni profesi sebagai pedagang, profesi yang menjadikannya pimpinan sekaligus raja atas usahanya sendiri. Khusus untuk anaknya yang ketiga, saya sudah lebih dahulu tahu jika dia berjualan satai juga, saat tempo hari malam hari kebingungan mau beli apa untuk makan. Jadilah saya iseng beli satai di pertigaan KM, yang ternyata usut punya usut saat mengobrol adalah masih anaknya Mang Aca itu.

“Tapi lieur sama anak yang terakhir. Belajarnya di rumah terus, belum boleh ke sekolah. Beli kuota melulu.”

“Yah. Namanya juga lagi situasi begini, Mang. Sabar aja sampe wabah virusnya selesai. Semoga cepet normal lagi.”

“Iya, ya.”

“Ini jualannya dari dulu di sini aja, Mang? Gak kemana-mana?”

“Enggak. Sayamah dari dulu juga jualannya di sini aja, dari sate yang dijual selawe (25) perak, sampe sekarang dijual serebu.”

Saya tahu persis Mang Aca ini sudah berjualan puluhan tahun lamanya. Bahkan sejak saya sekolah SD di dekat tempatnya berjualan, tepatnya di samping SMK PGRI Cikupa. Sebab jika saya pulang sore sehabis bertanding bola di kampung sebelah selalu melewati jalan belakang SMK PGRI, dan di sanalah Mang Aca selalu berjualan.

But, wait. Hey, seribu? Ada yang tidak percaya dia jual satainya dengan harga seribu? Harga itu benar adanya. Awalnya juga saya tidak percaya beliau jual satai dengan harga segitu, sama persis dengan harga lontong yang dijualnya. Seribu hari ini dapat apa selain dua aqua gelas, permen eceran, atau camilan anak di warung? Saya saat itu lalu berpikir keras. Modal tusuk satainya berapa? Modal daging ayamnya? Modal arangnya? Modal bumbu kacangnya? Modal kecapnya? Modal biaya angkotnya? Lalu tiba-tiba keluar angka seribu untuk satu tusuk satainya? Hey, yang benar saja. Pikiran saya masih tidak percaya dengan angka seribu rupiah itu.

Buat kalian anak Ekonomi atau sekurangnya pernah belajar ilmu Ekonomi pasti tahu dan tidak asing dengan Marketing Mix (Bauran Pemasaran). Apa saja itu? Kita biasa mengenalnya dengan istilah 4P yang menjadi kunci paling penting keberhasilan seseorang dalam upaya menjalankan bisnis/usahanya. Antara lain: P yang pertama adalah Product (produk), lalu P kedua adalah Price (harga), P ketiga adalah Place (tempat), dan P keempat adalah Promotion (promosi). Nah, bagi saya, usaha Mang Aca dalam berjualan satai ini sudah memenuhi keempat unsur penting tersebut. Dalam hal produk, satai dipadu lontong, bumbu kacang, bawang goreng, kecap, adalah kombinasi yang sempurna. Rasa? Juara deh pokoknya. Sebab saya sudah mencobanya langsung. Perihal harga apalagi. Di saat penjual lainnya menjual satai rata-rata di harga dua ribu hingga tiga ribu rupiah pertusuk, Mang Aca tetap menjualnya di harga sangat rendah, yaitu seribu rupiah saja pertusuknya. Tempat? Nah, ini yang menarik. Sedari dulu, Mang Aca selalu berjualan di tempat yang sama, tak pernah berpindah-pindah. Sekalipun pindah tempat hanya berjarak 20 meter saja dari depan gedung SMK ke belakang gedungnya. Terakhir, dalam hal promosi. Dengan beliau konsisten berjualan di tempat yang sama selama lebih dari 30 tahun ditambah lagi dengan keunggulan harga dan produk yang boleh diadu, saya kira promosi menjadi faktor yang dirasa tidak lagi menjadi urgent. Sebab dengan tiap hari berjualan selama 3 hingga 4 jam saja dengan membawa ratusan tusuk satai, dia sudah berhasil menjual dagangannya ludes. Mungkin juga, Mang Aca ini menerapkan prinsip dagang China. Yang identik jika berbisnis selalu menjual dagangannya dengan harga terendah, agar hari itu jualan, hari itu juga tercapai BEP (Break Even Point) tafsiran gampangnya balik modal, meski dengan untung yang sedikit. Tapi manakala itu terus berulang tiap hari, selama itu pula perputaran uang sangat cair, dan keuntungan akan terus lancar. Hebat memang.

“Pake sambel, enggak?” Tanyanya menghentikan kekaguman saya saat itu.

“Nggak usah, Mang. Pake kecap aja.”

“Jadi berapa semuanya?”

“Sepuluh ribu.”

Sembari memberikan uangnya, lalu saya pamit.

“Makasih ya, Mang. Yuk.”

“Iya.”

---------
Terkadang, banyak pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari sangat sederhananya hidup itu sendiri. Tentang konsistensi, tentang keyakinan atas rizki dari-Nya, tentang perjuangan, tentang kesabaran, tentang kemurahan, dan tentang menjadi diri kita yang tak berubah di tengah laju zaman yang sangat cepat sekali berubah. Betapa tidak, Mang Aca muda yang 30 tahun lalu berjualan satai di samping SMK dengan pikulan jualannya pergi-pulang Balaraja-KM, hari ini masih setia dengan jualannya yang ramah (ramah pada lingkungan-ramah pada pembeli), murah (ramah di kantong), dan berkah (ambil untung secukupnya). Bahkan beliau berhasil menghadirkan Mang Aca-Mang Aca muda lainnya dalam sosok anak-anaknya yang juga tekun berjualan satai.

---------

Doa saya, ‘Semoga terus konsisten usahanya ya, Mang. Sehat, berkah, dan mengalir terus rizkinya.’ Aamiin

 

 

 

Komentar

Terbaru

Latihan

Warjito (Sebuah Memori dalam Puisi)

Yang Terserak Hilang Jejak