Dia Bukan Badut

 


Alkisah. Semalam, sekitar pukul 21:30 dalam perjalanan mengendarai kuda besi sehabis latihan futsal, di perjalanan pulang saya tak sengaja bertemu dengan badut (orang yang memakai pakaian ala badut) sedang berjalan dari arah bundaran 3 Citra Raya menuju ke depan, mungkin ke arah gerbang. Sontak saja ingatan saya langsung tertuju pada jagoan saya Ken, yang saat ini sedang berada di kampung. Ya, jagoan saya yang pertama itu sangat takut jika bertemu badut, diajak kenalan dan bersalaman pun dia enggan, malah teriak ‘jangan!’. Karena ingin menggoda sekaligus menciptakan kesan bahwa badut adalah teman, manusia biasa seperti kebanyakan, yang lucu sekaligus menghibur dan tidak menakutkan, akhirnya saya kepikiran ide ingin mengajak badut itu berfoto bersama untuk dikirimkan via Whatsapp. Karena sudah terlanjur melewati badut tersebut, akhirnya saya putar balik mendekati dan menunggu beberapa meter di depan jalur dia berjalan kaki. Setelah jaraknya dekat, badut itu saya panggil:


“Bang, bisa kesini sebentar?”


Dengan ekspresi kaget dan mungkin takut karena ada orang tiba-tiba mencegatnya berjalan kaki, ditambah lagi kondisinya saat itu saya sedang mengenakan masker dan helm plus cahaya yang kurang terang, akhirnya dia berhenti sejenak. Tapi dia malah menjulurkan tangan sambil memegang kantung yang biasa ia gunakan untuk menyambut uluran tangan berupa uang receh maupun pecahan ribuan.

“Sini dulu, saya mau ngobrol sebentar.”
Akhirnya dia mendekat sambil tetap menjaga jarak.

“Gini. Saya mau minta tolong. Saya mau ajak Abang foto bareng, nanti fotonya mau saya kirimkan ke anak saya di kampung. Bisa, kan?”

Dengan sedikit ragu akhirnya dia mengiyakan dengan anggukan kepala.

“Sini Bang, ke tempat yang agak terang aja.”

Dengan menunggangi kembali si kuda besi, akhirnya saya berhenti di depan sebuah ruko yang sedang bersiap ditutup pintu rollingnya oleh seorang pemuda. Dengan isyarat tangan, saya panggil lagi badut itu mendekat ke depan ruko yang jaraknya tidak jauh dari lokasi awal ngobrol tadi. Saat itu juga saya baru menyadari, ternyata jalan si badut tidak sempurna seperti jalannya orang normal. Agak jinjit sebelah tiap kali melangkah, mungkin dahulu kakinya pernah sakit atau luka.

Setelah melepas helm dan masker, saya minta tolong sekalian pada pemuda tadi untuk memoto saya bersama badut tersebut di depan rukonya yang hendak ditutup tersebut dengan pose natural sambil memegang pundak si badut. Cekrek! Cekrek! (Eh, gak ada suaranya denk). Dapatlah dua foto, tapi saya minta sekali lagi difoto tapi dipastikan kualitas fotonya fokus dan tidak ngeblur/berbayang. Cekrek!

“Gimana, bagus?” Tanya saya
“Bagus.” Jawab pemuda itu
“Makasih banyak ya, Mas. Maaf merepotkan.”

Masuklah pemuda itu sembari menutup rolling doornya dari dalam ruko. Akhirnya saya keluarkan uang lima ribu rupiah dari tas yang saya bawa untuk diberikan kepada Abang badut itu atas kesediaannya mau difoto bareng saya, lalu saya masukkan ke kantung yang dia bawa.

"Makasih, Bang."

Tapi di momen itu juga iseng saya bertanya padanya

“Tiap hari jadi badut di sini dari jam berapa, Bang?”
“Dari jam 3 sore.” Jawabnya

“Ooo. Tiap hari dari jam 3 sampe jam segini baru pulang?”
“iya.”

“Tiap hari dapet uang berapa banyak, Bang?”
“Gak tentu juga. Kadang 40 ribu, kadang 50 ribu.”

“Ini bajunya punya sendiri?”
“Bukan. Ini dapet nyewa, sehari 30 ribu.”

“Oo. Tapi itu 50 ribu udah bersih dipotong uang sewa kostum apa belum?”
“Iya, udah.” jawabannya sedikit membuat saya terenyuh.

“Itu kakinya sakit ya? Kenapa emang, Bang?” Mulai menyelidik
“Dulu pernah jatoh dari pohon.”

“O gitu, udah berapa lama?”
“Sekitar setahun yang lalu.”

“Trus sekarang pulangnya kemana?” Tanya saya kemudian
“Ke Kedaton.” Jawabnya

Mendadak seperti mengingat kembali tempat itu berada di mana

“Kedaton yang setelah lewat jembatan layang atas tol itu?”
“Iya.”

“Naik angkot ke sananya?”
“Enggak. Jalan kaki aja, Bang.”

“Hah, jalan kaki? Itu kan jauh, Bang.”

Seketika saya terkaget saat dia bilang berjalan kaki pulang ke Kedaton, mengingat kondisi kakinya yang masih belum sembuh sempurna. Taksiran saya, jarak dari gerbang Citra ke Kedaton itu bisa 5-7 KM jaraknya.

“Ke Kedatonnya sebelah mana?” Tanya saya lebih lanjut karena rasa penasaran
“Pom Bensin Kedaton.” Ucapnya lagi.

Awalnya saya mengira Pom Bensin itu adalah patokan kunci untuk bisa menuju rumahnya. Tapi ternyata dugaan saya keliru

“Trus tinggal di kontrakan atau rumah sendiri?”
“Enggak. Saya tinggal di Pom Bensin itu, Bang.” Jawabnya yang membuat saya tambah kaget

“Lha. Terus Abang tinggal di Pom itu? Anak sama istri ada?” Seperti masih belum percaya atas penjelasan dia barusan.
“iya. Istri ada, anak juga ada satu. Tapi tinggalnya di kampung, di Pandeglang.”

“Oh, gitu. Trus pulang ke rumahnya kapan? Sebulan sekali?”
“Ya kalo udah ada duit aja baru pulang.” Jawabnya.

Semakin membuat saya terenyuh. Ya Allah, ternyata garis hidup dia jauh lebih tidak beruntung dibanding saya ataupun orang kebanyakan. Dia merantau jauh dari Pandeglang ke Tangerang hanya untuk mencari nafkah, menghidupi keluarganya dengan menjadi seorang Badut yang entah diketahui persis profesinya itu oleh anak-istrinya atau malah dirahasiakannya selama ini.
Akhirnya karena merasa tidak tega dengan kondisi kaki dia yang berjalan tak sempurna, saya menawarkan diri untuk bisa mengantarkannya minimal lewat arah Pasir Gadung masuk ke dalam, kebetulan satu arah.

“Yaudah. Ayo, saya anterin aja pulangnya sampe Pasir Gadung.”
“Gak usah. Saya jalan kaki aja, biar sehat.” Tolaknya dengan halus

“Gapapa, Bang. Ayo, saya bonceng aja. Jauh lho ke Kedaton.” Bujuk saya mencoba sekali lagi
“Gak usah, Bang. Makasih. Saya jalan kaki aja.” Masih dengan jawaban yang sama

“Soalnya dulu dibilangin sama terapisnya yang ngurut kaki saya suruh banyakin jalan kaki, supaya cepet sembuh. Tinggal sedikit lagi.” Penjelasannya kemudian

“Beneran nih, gapapa?”
‘Iya, Bang. Makasih.”

“Yaudah deh kalo gitu. Hati-hati di jalan ya, Bang.”
“Iya.”

“Eh. Sebentar, Bang.”

Sedetik kemudian saya mencegah dia agar jangan dulu pergi lalu mengambil acak beberapa lembar uang yang ada di tas dalam satu genggaman untuk diberikan ke Abang badut itu.

“Ini ambil aja, Bang.”
“Lho. Gak usah, Bang. Makasih.” Tangannya menahan tangan saya masuk ke dalam kantung yang dia bawa.

“Gapapa, Bang. Bawa aja.” Dengan sedikit memaksa saya tetap masukkan uang itu ke dalam kantung.
“Aduh. Jadi gak enak ini.”
“Udah. Gapapa.”

……….
Obrolan itupun kita akhiri dengan saling mendoakan satu sama lain. Saya mendoakan dia agar kakinya segera pulih kembali dan dimudahkan rizkinya. Sementara dia mendoakan saya agar diberikan rizki yang banyak dan berkah. Sama-sama kita aminkan doa masing-masing satu sama lain.
……….

“Hati-hati di jalan ya, Bang.”
“Iya, Bang. Makasih.”

Kamipun berpisah. Dia melanjutkan jalan kakinya. Sementara saya memakai kembali masker dan helm untuk bersiap melanjutkan perjalanan pulang ke rumah naik kuda besi.

Bagi saya. Dia bukanlah badut. Dia seperti kunang-kunang yang terbang malam hari membawa cahaya di kegelapan. Memberikan hal untuk diambil sebanyak mungkin pelajaran dari secuplik kisah hidupnya yang jauh dari potret kepura-puraan manusia zaman sekarang. Jujur apa adanya, jujur pada dirinya, jujur pada sekitarnya, dan tabah terus melangkahkan kakinya menghadapi hidup yang sungguh pelik ini.
___________
Terkadang atau bahkan mungkin seringkali kita terlalu banyak melihat ke atas, tempat dimana bintang-bintang dan rembulan bersinar dengan indahnya, seperti itulah mimpi-mimpi kita. Sangat menghanyutkan, melenakan, dan penuh perangkap. Membuat kita menjadi diri yang bukan semestinya diri kita. Lupa berkaca, angkuh, arogan, sok hebat, menyebalkan, dan sederet predikat lain yang melekat tanpa disadari. Tapi kita terlampau jarang melihat ke bawah, yang menyimpan banyak pelajaran tentang perjuangan, kebesaran jiwa, kelapangan hati, ketulusan, kepasrahan, kesabaran, kesyukuran, atau bahkan penghargaan pada orang lain.
Well. Lebih sering melihat kemanakah diri kita ini?
Know yourself better than others

-
Tangerang, 23 Oktober 2020

Komentar

  1. Subhanallah....kisah yg inspiratif

    BalasHapus
  2. Sungguh sang penulis berhati mulia

    BalasHapus
  3. perjuangkan mimpi kita agar jadi nyata.

    BalasHapus
  4. MasyaAllah sekali pa chandra

    BalasHapus
  5. Huaaa..kok aku sedih yaa bacanya pake meidi 😢semoga masih banyak orang" yang hatinya baik kayak bapak

    BalasHapus

Posting Komentar

Terbaru

Latihan

Warjito (Sebuah Memori dalam Puisi)

Yang Terserak Hilang Jejak