Yang Terserak Hilang Jejak
Dalam perjalanannya, bisa dikatakan menulis tak pernah menjadi pekerjaan yang mudah. Selalu ada pengalaman dan rintangannya sendiri. Selalu ada liku, duka, dan kesenangannya sendiri. Tapi di sanalah letak asyiknya menjadi seorang penulis. Selalu ada ruang yang begitu besar untuk terus belajar, menjadi diri sendiri, berani menuangkan ide, menawarkan gagasan pun memberikan warna yang berbeda. Saya sendiri dalam perjalanan panjang kepenulisan lebih banyak belajar secara otodidak. Mulai serius mendalami sastra puisi sejak di dunia perkuliahan, tepatnya sejak aktif di organisasi ekstra kampus IMM Ciputat. Meski bertumbuh di lingkungan yang kental dengan dunia menulis dan literasi, serta dibekali jejak para senior dan kawan yang sangat produktif menulis di media massa, tapi saya akhirnya lebih memilih jalan sunyi. Banyak membekali diri dari buku-buku sastra yang dibaca, baik cerpen, novel, fabel, maupun puisi. Tapi tentu tak hanya buku sastra, buku dengan topik sains, sosial, budaya, sampai filsafat juga jadi bekal tersendiri. Sebab sejatinya para penulis/penyair hebat dunia bekal bacaannya sangat banyak dan multi topik. Sebut saja beberapa diantaranya yang terkenal ada Freiderich Willem Nietzsche, William Shakespeare, Kahlil Gibran, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Rendra. Adapun jalan sunyi yang ditempuh adalah dengan tetap meramaikan khazanah sastra tanah air melalui tulisan-tulisan ringan di blog pribadi maupun sayembara-sayembara kepenulisan dalam skala lokal dan nasional. Paling tidak, melalui sayembara-sayembara yang diikuti, jadi tolok ukur tersendiri untuk menguji seberapa positif karya-karya kita diterima sekaligus diapresiasi oleh pembaca secara luas, minimal oleh dewan juri yang ditunjuk sebagai kurator karya (biasanya dari penulis/penyair ternama tanah air). Dari banyak sayembara yang pernah diikuti, telah banyak karya yang pada akhirnya berbuah manis, entah terpilih jadi juara lomba, masuk nominasi unggulan, pun masuk jadi salah satu karya terpilih yang menghiasi isi buku antologi. Banyak buku yang diberikan gratis bagi karya penyair terpilih sebagai nilai apresiasi, ada juga yang langsung dijual dan hasil penjualannya disumbangkan bagi mereka yang membutuhkan, ada juga yang pada akhirnya dijual online di website global dunia. Tapi tentu saja tak melulu semua naskah yang dikirim berhasil terpilih dan jadi buku. Ada juga yang gagal terpilih sebab tidak fokus menggarap ide sedari jauh hari, pun ada juga yang tak sesuai dengan kriteria (selera) dewan juri. Dari kegagalan itulah waktunya evaluasi, belajar lagi dan lagi, jangan pernah berhenti. Sebab sejatinya pembelajar adalah terus-menerus memperkaya diri.
Berbicara perihal banyak karya yang telah diapresiasi dan berbuah manis jadi buku, ada pula catatan hitam yang melingkupi di dalamnya. Apa itu? Beberapa event sayembara menulis justru tak pernah benar-benar bisa dinikmati manis hasilnya meskipun sudah melalui seleksi ketat penilaian dewan juri. Ya, dalam beberapa sayembara, saya hanya mendapatkan kabar bahwa naskah yang dikirimkan terpilih masuk salah satu karya yang akan dibukukan. Tapi seribu sayang, itu hanya berhenti pada kabar manis, tak pernah sedetikpun menerima fisik bukunya. Berikut ini adalah beberapa sayembara yang pernah diikuti, masuk karya terpilih, tapi tak pernah mendapatkan kiriman bukunya:
- Antologi Puisi Langit Senja Jatigede (2017)
Sayembara ini diadakan oleh komunitas Sirung Sastra. Menyeleksi ratusan karya yang masuk dari penyair nasional ke meja dewan juri untuk dipilih hanya 71 karya saja. Awalnya tak ada kabar apapun bahwa naskah saya terpilih, tapi tak sengaja menemukan nama saya berada di dalam isi website yang mengumumkan hasil seleksi karya event tersebut. Beberapa kali coba hubungi panitia, tapi tak pernah dapat respon apapun. Pengumuman bahwa naskah yang dikirim terpilih bisa dicek di sini:
Ini adalah 3 karya puisi yang dikirim pada sayembara tersebut, entah pada akhirnya dimuat seluruhnya atau hanya salah satu saja dari ketiga karya berikut:
Tuhan Sembunyi di Bulan Suci
Ini bulan bergelar suci
Tapi cela lebih menarik dicari-cari
Dan aib manusia lebih sibuk diurusi
Lupa bercermin diri
Lengah perbaiki diri
‘Atid datang Raqib pergi
Tuhan sembunyi
Tangerang, 29 Mei 2017
Menunggu Giliran Pulang
Daun-daun mengerti apa yang dilupa
Musim membawa terlalu banyak Tanya
Dipikulnya hujan yang liar tak lagi patuh
Digenggamnya kemarau yang bilau tak lagi teguh
Di belahan lain ada salju datang menipu
Tak sedingin berpuluh tahun yang lalu
Saat keserakahan terlalu cepat melahap waktu
Anomali dan ringkih bumi berguncang
Waktu lebih cepat berulang
Pergi lalu kembali datang
Membawa tangis ditertawakan malam dan siang
Dan kita masih menunggu giliran pulang
Dengan bekal dan catatan nan gersang
Tangerang, Desember 2016
Sumedang-Jakarta: dalam Dekap Sesak Rindu
Tis, tis, tis
Malam membawa sendu ditelan gerimis
Berkali rindu menohok sepi yang tragis
Di sana jarak melahirkan tangis
Di Jakarta yang katamu amis
Kau tahu aku sejenak pergi
Dalam dekap sesak rindu paling nyeri
Terus saja kau menjelma bayang menghantui
Ke Cadas Pageran kulewati
Ke alun-alun Sumedang singgah dan berhenti
Tapi kau datang bertubi-tubi
Ah, sialan!
Sekeranjang tahu Bunkeng dan rawit tak cukup mematikan
Menumpasmu dari isi kepala yang menakutkan
Selarut ini mataku tak jua ingin kompromi
Menyerah pada doa-doa tak terhitung lagi
Digerayangi dinginnya pagi
Duhai kekasih
Petang aku kembali, membawa rindu yang ingin kutagih
Tak usah lagi kau bersedih
Dukamu hatiku perih
Sumedang (dini hari), 3 Oktober 2015
- Seratus Puisi dari Demokrat untuk Indonesia (2017)
Sayembara nasional ini memperingati Hari Puisi Indonesia sekaligus memperingati hari ulang tahun Partai Demokrat sekaligus ulang tahun Presiden SBY kala itu. Beberapa kali coba hubungi panitia, tapi tak pernah dapat respon apapun, bahkan terkesan menghindar. Dapat informasi perihal naskah telah terpilih masuk sebagai naskah terpilih untuk dibukukan melalui web resmi partai demokrat, bahkan sampai hari inipun masih ada rilisnya di alamat web berikut:
https://www.demokrat.or.id/seratus-puisi-dari-demokrat-untuk-indonesia/
Berikut karya puisi yang dikirim pada sayembara tersebut:
Si Kurus Pembawa Gitar yang Terus Dimaki Kasar Menahan Lapar
Di pundaknya dipikul sebuah gitar
Menyusuri jalan-jalan kasar
Di lambungnya cacing terus memaki kasar
Melilit menahan lapar
Malam kian menindih
Tapi esok sudah bersiap bawakan pedih
Dalam panjang doa-doa rintih
Hidup tak lebih dari sekumpulan kaca yang repih
Berai dalam ringkih
Tubuhnya kurus dihabisi angin Agustus
Wajahnya pasi dihisapi rakus korupsi
Terus menjadi-jadi
Nikmati dalam sembunyi
Tapi ia tak pernah lupa
Berapa banyak lagu-lagu mengudara
Mengetuk nurani bangsa
Mengutuk tingkah mereka
Yang khianat pada pahlawan dan ibu pertiwinya
Tangerang, 15 Agustus 2017
- Suratto Green Literary Award (2015)
Sayembara ini mengangkat tema sastra hijau, sebagai kepedulian terhadap hutan dan lingkungan hidup. Dapat informasi pertama kali perihal naskah yang dikirim terpilih dalam 100 karya terpilih untuk dibukukan via email. Lengkap dengan ulasan panitia dan dewan jurinya yang rata-rata merupakan penyair nasional beserta undangan dari panitia untuk menghadiri acara pengumuman 10 naskah terbaik di sekolah Alam Cikeas pada waktu itu. 100 naskah terbaik mendapat apresiasi karyanya dibukukan dan dibagikan pada masing-masing penulis. Tapi faktanya, sampai hari ini buku itu tak pernah sampai pada penulisnya. Beberapa kali coba hubungi panitia via email, tapi tak pernah dapat balasan apapun. Dan ternyata informasi nama-nama dan naskah terpilih dirilis juga di website resmi panitia penyelenggara lomba:
https://rayakultura.net/puisi-puisi-unggulan-calon-pemenang-lomba-cipta-puisi-genre-sastra-hijau-lcpgsh-suratto-green-literary-award-2015/
Berikut karya puisi yang dikirim pada sayembara tersebut:
Papua, Tangis Luka Yang Tak Pernah Digubris
Aku tahu kau merintih
Tubuhmu terus dilubangi perih
Rahimmu emas, namun rakyatmu diperbudak malas
Kau lahirkan harta durhaka lalu pergi dan tandas
Meninggalkan papuamu dengan telanjang
Lewat kontrak sinting yang terus diperpanjang
Tertawalah si tuan asing di negeri kita yang jalang
Dijaja murah di secarik hitam putih yang membuat berang
Aku tahu kau menangis
Luka-lukamu tak pernah digubris
Tanahmu subur, namun gunung-gunung dibiarkan saja hancur
Dipeliharalah buncit pejabat dan oknum-oknum lacur
Menjamahi setiap jengkal tembuni bangsamu yang tersungkur
Hanya menunggu kapan tiba saat dikubur
Aku tahu kau terluka
Namun sajak-sajakku tak akan henti bersuara
Dengan segenap jiwa mari kita jaga
Papua tercinta
Tangerang, 10 September 2015
Berkaca pada beberapa pengalaman tersebut, kita boleh saja hilang respect pada panitia penyelenggara pun dewan juri yang terkesan mencuri karya dan tidak bertanggung jawab penuh hingga sampailah karya itu pada yang berhak menerima. Tapi jangan sekalipun kita kehilangan antusiasme untuk terus belajar dan melahirkan karya-karya terbaik yang akan tetap dinanti oleh penikmat karya hari ini dan generasi yang akan datang. Mungkin karya-karya tersebut hanya akan jadi sebagian kecil yang terserak. Namun percayalah, yang terserak hilang jejak tak pernah benar-benar kehilangan nilainya. Ia akan tetap abadi dalam semangat budaya literasi.
`Keep writing, create masterpiece that makes you to be something`
😉
Komentar
Posting Komentar