Dalam perjalanannya, bisa dikatakan menulis tak pernah menjadi pekerjaan yang mudah. Selalu ada pengalaman dan rintangannya sendiri. Selalu ada liku, duka, dan kesenangannya sendiri. Tapi di sanalah letak asyiknya menjadi seorang penulis. Selalu ada ruang yang begitu besar untuk terus belajar, menjadi diri sendiri, berani menuangkan ide, menawarkan gagasan pun memberikan warna yang berbeda. Saya sendiri dalam perjalanan panjang kepenulisan lebih banyak belajar secara otodidak. Mulai serius mendalami sastra puisi sejak di dunia perkuliahan, tepatnya sejak aktif di organisasi ekstra kampus IMM Ciputat. Meski bertumbuh di lingkungan yang kental dengan dunia menulis dan literasi, serta dibekali jejak para senior dan kawan yang sangat produktif menulis di media massa, tapi saya akhirnya lebih memilih jalan sunyi. Banyak membekali diri dari buku-buku sastra yang dibaca, baik cerpen, novel, fabel, maupun puisi. Tapi tentu tak hanya buku sastra, buku dengan topik sains, sosial, budaya, sampai...
05-01-2017 - True Story - Alkisah, seminggu yang lalu, tepatnya di hari senin, jam sudah menunjukkan lampu kuning, maka segera setelah motor dinyalakan, langsung ngacir mengejar waktu masuk kantor agar tak telat parah sampai di kantor. Berangkatlah saya dengan tergesa sembari mengucap doa agar selamat di perjalanan. Sekilas melirik indikator bensin di motor, 'ah, masih dua strip. Sepertinya masih cukup untuk perjalanan pergi-pulang kantor. 'Lho, kok tinggal dua strip?' Sebab baru malam sebelumnya tangki motor diminumi bensin hingga tiga strip. 'Mungkin sempat digunakan adikku tadi malam, paling hanya terpakai sedikit saja,' pikirku. Bismillah, alhamdulillah tiba di kantor dengan selamat. Lumayan kepikiran di perjalanan Cikupa-Ciledug. Sekali lagi melirik indikator bensin, masih dua strip ternyata. 'Ah, aman.' Di waktu jeda istirahat kantor, iseng coba-coba cek isi tas dan dompet. What? Rupanya tak ada uang di sana. Hanya ada beberapa logam ...
Lelaki itu bernama Dimas Tetap berangkat bukan untuk mencari emas Pagi hari ke sekolah ia bergegas Menjemput ilmu yang tak didapatkannya Dari ruang internet sungguh bernilai hampa Bagi garis hidup belum berpihak baik padanya Di sekolah ia hanya disambut kepala sekolah dan guru Tak ada kawan-kawan biasa membawa haru biru Sendiri berteman papan tulis dan buku-buku Rupanya pandemi menyisakan pilu Bagi banyak mereka yang tak mampu Dengan tabah harus memeras rindu Hanya bisa menikmati pendidikan lewat sebuah temu Ayahnya hanya seorang nelayan Ibunya buruh pengering ikan Gawai dan kuota terlampau mahal dibelikan Seliter beras lebih berharga di hadapan Melewati pelik masa pandemi entah sampai kapan Corona memang memaksa sebuah keadaan Aturan-aturan baru ikut diberlakukan Tapi pendidikan tak seharusnya menjadi ironi tragedi Bagi mereka yang datang membawa mimpi-mimpi #AnakHebat #DimasIbnuAlias
Komentar
Posting Komentar