Otak Pas-Pasan? Kesuksesan Bergantung Kesungguhan

Al kisah
Saat hendak menunaikan shalat Jumat, siang tadi, di masjid dekat rumah, ternyata seisi ruang masjid telah disesaki para jamaah Jumat. Padahal khutbah pertama saja belum dimulai, bahkan adzan pun belum berkumandang. Tapi memang masjid tersebut punya PR besar, yaitu menambah kapasitas masjid dalam menampung jamaah sholat disetiap momen sholat Jumat dan dua sholat Hari Raya (ied), sebab sudah bisa dipastikan overload saat sholat berjamaah di momen-momen itu. Padahal masjid tersebut sudah berdiri kokoh dengan 2 lantai sedari saya masih kecil.
Dalam kebingungan mencari celah tempat duduk untuk sholat Jumat di lantai 2, terlihat sesosok wajah yang tak asing di benak saya. Ya, seketika saja memori ingatan berselancar ke masa lalu. Masa di mana sekolah dan mengaji adalah satu paket yang harus dijalani. Meski awalnya itu adalah titah yang memaksa dan mengikat dari orang tua. Tapi setelah dijalani dengan hati riang dan haus akan ilmu, ternyata semua aktifitas ilmu itu sangat menyenangkan. Pagi hingga siang/sore, adalah waktunya menimba ilmu di sekolah umum. Malam adalah waktunya menimba ilmu agama di taman pendidikan Al-Qur'an, mulai dari level TKA, TPA, hingga TQA. Yup. Semuanya seakan saling melengkapi. Saya mampu membaca al-Qur'an, itu di dapati bukan di sekolah umum, melainkan di sekolah non umum/agama. Saya mempunyai interest terhadap dunia sastra, tentu bukan di sekolah agama. Hehehe
Kembali ke sesosok wajah di atas. Sosok tak asing itu adalah sahabat di rimba ilmu taman pendidikan Al-Qur'an saat masih di level TKA dan TPA. Sebut saja dia dengan sebutan nama Eman. Ya, boleh dikatakan saya lebih mengenal dia lewat kenakalan-kenakalannya selama menimba ilmu di Taman Pendidikan Al-Qur'an. Seperti apa kenakalannya? Oh, No! That's secret.
Setelah meyakini dalam hati bahwa sosok itu adalah dia, dengan memberanikan diri saya menerobos rapatnya barisan-barisan jamaah sholat jumat untuk duduk di dekatnya, lebih tepatnya di depan tiang penyangga masjid yang bila dijadikan tempat untuk sholat tidak akan cukup. Hanya cukup untuk duduk.
"Permisi. Eman." Sapa saya singkat sembari langsung duduk disamingnya.
"Eh, Med." Balasnya diiringi seringai tawanya yang khas.
Singkat cerita, setelah sholat sunah dan rangkaian sholat Jumat ditutup doa, saya berinisiatif untuk mengajaknya mengobrol santai.
"Ente masih kerja di tempat yang lama?". Buka saya mengawali obrolan
"Masih." Singkatnya
"Belum di Pecat?" Gurau saya. Seketika kita tertawa renyah.
Pembawaannya yang periang dan tak pernah marah membuat dia selalu enak diajak bersenda gurau.
"Udah sebulan ini libur, Med". Jawabnya. Masih dengan raut wajahnya yang identik dengan baby face, lebih tepatnya watados.
"Hah!! Serius, ente? Kok bisa". Selidik saya.
"Iya. Belum produksi lagi". Jawabnya singkat.
Ternyata, di tempat dia bekerja, pekerjaannya tak menentu. Sangat bergantung permintaan produksi dan penjualan hasil produksi. Bahkan di tempatnya bekerja, pengangkatan karyawan tetap menjadi hal yang agak mustahil. Bayangkan, sudah bekerja lebih dari 3 tahun, dia masih setia berstatuskan karyawan kontrak. Tidak pernah ada pengangkatan karyawan tetap. Ironis memang.
Sedikit saja info, sahabat saya ini berijazahkan lulusan STM.
"Ente ga lanjutin ke S1?". Tanya saya kemudian.
"Aduh, enggak!". Jawabnya disertai gelengan kepala.
"Otak saya, kan pas-pasan." Senyumnya polos.
Memang sih, dia tak pernah mendapat ranking/menjadi siswa unggulan selama saya mengenalnya di TPA.
"Eh, Man. Semua orang itu terlahir pintar. Gak ada yang oon. Cuma perlu diasah aja otaknya."
Sergah saya tegas sembari menepuk-nepuk pundaknya sebagai bentuk penolakan sekaligus menguatkannya diakhir obrolan.
Inilah yang terkadang mengingatkan saya untuk bersyukur. Bersyukur bahwa tak semua orang, sahabat, bahkan orang terdekat di sekitar kita mampu mengenyam pendidikan setinggi mungkin sesuai harapan. Bersyukur bahwa ternyata kita masuk kategori orang-orang yang sangat beruntung, tersebab kita masih menyaksikan banyak saudara-saudara kita terpaksa menutup rapat impian-impian kecilnya karena kemiskinan, ketimpangan sosial, bahkan nihilnya peran pemerintah bagi pendidikan bangsanya. Ingat! Pendidikan adalah hak asasi dan hak dasar bagi segenap anak bangsa Indonesia, tanpa terkecuali.
Pada akhirnya saya selalu sepakat pada dua pesan bijaknya Albert Einstein berikut:
"Two things are infinite: the universe and human stupidity; and i'm not sure about universe."
Dua hal yang tak terbatas: alam semesta dan kebodohan manusia; dan saya tidak yakin tentang alam semesta.
"I'm not genius. I'm just curious."
Saya tidak jenius. Saya hanya penasaran/ingin tahu.
So, tidak ada istilah otak pas-pasan. Yang ada hanya keyakinan dan ilmu yang tak pernah ingin ditambah. Bila manusia tak pernah yakin akan kemampuannya ditambah kehendak Tuhan, untuk apa Al-Qur'an menggariskan kalamullah berikut ini?
"Inna-Allaaha Laa yughoyyiruma bi qoumin hatta yughoyyiruma bi anfusihim".

                                                                                    
                                                                                               Tangerang, 01 Mei 2015

Komentar

Terbaru

Latihan

Warjito (Sebuah Memori dalam Puisi)

Yang Terserak Hilang Jejak