Kita Adalah Sejuta Cerita
Pernah ada sebuah ungkapan di tengah-tengah persinggungan antargenerasi yang mengatakan bahwa: “generasi 90an adalah generasi paling emas dan bahagia”. Bagi sebagian generasi yang lahir dan besar setelah era 90an, ungkapan itu tentu keliru. Mereka beranggapan bahwa generasi paling berbahagia adalah generasi 2000an atau generasi milenial, sebab di era tersebut segalanya mudah sekali didapatkan. Mulai dari akses pendidikan yang lebih mudah, lengkap dengan aneka peralatan pendukungnya, akses internet, telepon pintar (Hp), infrastruktur teknologi, bahkan digitalisasi transfer ilmu. Tetapi saya tentu merupakan satu dari sekian banyak orang yang masih menyepakati bahwa generasi yang tumbuh di era 90an adalah generasi emas terbaik, bahkan paling berbahagia. Apa sebab? Check this out.
·
Sekolah Tanpa Hp
Bisakah kawan sekalian membayangkan generasi saat ini hidup tanpa alat bantu berukuran kecil yang lekat di tangan dan selalu setia dipandangi, yang hari ini kita mengenalnya dengan sebutan gawai (handphone)? Rasanya hampir mustahil anak milenial sanggup hidup seminggu tanpa gawai (hanphone). Rasanya seperti berjalan di tengah hutan lebat tanpa cahaya, praktis kehilangan arah. Di era 90an sampai 2000an awal, gawai ibarat barang langka serupa mobil Ferrari. Hanya sedikit saja orang mampu memiliki. Anak sekolah yang besar di era itu adalah anak-anak yang sudah sangat bahagia bukan main bisa menelpon kawan kerabat hanya dengan menggunakan telepon umum di pinggir jalan bermodalkan koin, dan paling mewah tentu menggunakan jasa warung telepon (wartel). Di situlah letak kebahagiaan sesungguhnya, saat generasi milenial kini sangat bergantung pada gawai untuk merekam dan mengabadikan momen penting dalam hidup, maka generasi kala itu cukup dengan merekam dan mengabadikan momen-momen penting langsung ke dalam ingatan yang terus melekat hingga berpuluh tahun lamanya. Dan alat bantu yang paling canggih saat itu hanya kamera tustel, dengan keharusan membeli dan mengisi ulang filmnya sebelum digunakan. Sangat terbatas dan seringkali terbakar/cacat hasil jepretannya, muncul gambar api atau penampakan aneh lainnya. Apes memang, sudah mahal beli isi filmnya, eh, hasilnya malah terbakar. Generasi kala itu adalah generasi yang lebih banyak terjadi interaksi satu sama lain dalam sebuah pertemuan nyata, bukan maya. Bermain bersama, belajar-diskusi lewat temu muka, bukan sekadar lewat chat dan video call semata. Saat generasi milenial menempatkan Hp sebagai candu, maka generasi kala itu menempatkan temu sebagai rindu. Sehari tak jumpa seperti menelan sebuah siksa, sebab di sekolahlah segala rindu menjadi candu, segala jumpa menjadi cerita. Mungkin ada benarnya juga ungkapan seorang Einstein yang pernah mengatakan: “Aku takut suatu saat nanti teknologi akan melampaui interaksi manusia. Dunia akan melahirkan generasi idiot.” Dan mungkin secara tak langsung Einstein ingin berpesan pada generasi saat itu, bahwa generasi yang akan datang (saat ini), adalah generasi idiot (bodoh). Maka berbahagialah bagi kita (loe gue) yang kala itu masih menikmati masa-masa sekolah tanpa gawai, sebab kita masih termasuk generasi pintar (menurut Einstein). Dan sekaranglah saatnya kita sama-sama merayakan dan menikmati kebodohan. Hahaha
·
Sapu Patah adalah Hukum
Ini yang menarik. Di saat kita (loe, gue, dia, mereka) sekolah dahulu, rasa-rasanya guru marah-marah terhadap muridnya merupakan pemandangan yang biasa saja. Bahkan jika harus sebuah penghapus melayang ke muka meninggalkan memar karena kenakalan muridnya, adalah sebuah keadaan yang normal, dimaklumi, dan bisa diterima. Baik oleh si murid yang kena lemparan penghapus, maupun orang tua si murid yang dilempar penghapus tersebut. Bahkan jikalau si murid mengadu pada orang tuanya tentang tindakan si guru, orang tua zaman dulu malah akan berbalik mendukung keputusan si guru mengambil tindakan demikian dan tak jarang malah menambahkan hukuman baru di rumah. Eitttss, tapi untuk saat ini, jangan coba-coba bagi seorang guru melempar penghapus ke arah si murid, terlebih mengenai muka. Hanya dicubit saja oleh guru si murid bisa berbalik melawan dan melaporkannya pada orang tua, dan lebih parah lagi kebanyakan orang tua malah mendukung perilaku cengeng anaknya yang mengadu tersebab mendapat hukuman dari gurunya. Alhasil banyak orang tua berbalik datang ke sekolah untuk membalas hukuman yang diterima anaknya pada si guru. Bahkan tak sampai di situ, si guru bisa saja berujung masuk penjara jika dilaporkan si orang tua pada polisi dan dikenakan pasal perlindungan anak. Maka beruntunglah kalian yang besar dalam dunia pendidikan era 90-2000an awal, sebab kalian bukan generasi cengeng, buah dari didikan orang tua kalian yang juga tidak cengeng dan lembek. Berbangga sekaligus berbahagialah kalian yang pernah mengalami dan menyaksikan langsung tragedi sapu patah. Sebab sapu patah adalah hukum. Hukum absolut atas tegaknya kedisiplinan.
·
Angkatan Pertama UAN : Kelinci Percobaan
Saya masih sangat ingat momen gila ini. Hah!! Gila? Ya, tentu saja gila. Bagaimana mungkin pendidikan yang telah ditempuh selama tiga tahun penuh di sekolah ending kelulusannya hanya ditentukan oleh kalkulasi nilai matematis dari 3 mata pelajaran saja, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Dimana letak logis dan keadilannya? Bagaimana dengan pelajaran lainnya yang selama tiga tahun di sekolah terus kita lahap sebagai sebuah asupan pelajaran wajib? Kalau endingnya hanya ditentukan oleh hasil akhir tiga mata pelajaran, ya cukup tiga pelajaran saja dari awal sekolah sampai lulus, biar fokus dan mendapat nilai tinggi. Terkait rasa keadilan, bagaimana dengan nasib kawan-kawan maupun siswa lainnya di pelosok daerah yang sangat sedikit sekali bisa menikmati akses pendidikan ditopang oleh sarana dan prasarana yang memadai? Meskipun di saat itu, nilai standar kelulusan UAN yang dipatok hanyalah 3,01, tapi menerapkan kelulusan dengan standar nilai tertentu, seperti merampas banyak hak. Pertama, adalah hak guru sebagai tenaga pendidik yang selama tiga tahun penuh mendampingi muridnya, yang seharusnya paling berhak menentukan kelulusan setiap muridnya. Kedua, tentu hak si murid itu sendiri untuk lulus dan melanjutkan pendidikannya. Tapi apalah daya, tahun 2003 adalah tahun dimana banyak murid di sekolah merasa gelisah menghadapi UAN dan menunggu pengumuman kelulusan di koran. Tahun 2003 juga tahun dimana banyak sekali murid-murid sekolah di pelosok menangis saat mendapati dirinya dinyatakan tidak lulus UAN. Dan tahun 2003 adalah tahun dimana ‘loe’, ‘gue’ dijadikan kelinci percobaan oleh pemerintah melalui KEMENDIKBUD. Dan kabar baiknya adalah, kita yang satu angkatan hanya berisi 24 murid saja akhirnya dinyatakan lulus semua. Andai saat itu gawai sudah bukan barang langka, ingin rasanya memotret nama-nama yang muncul saat itu (24 orang) di halaman koran, untuk kemudian diabadikan dan diceritakan pada generasi saat ini. Ah! Gila!
·
Sekolah Tiga Tahun di Cikupa, Ujiannya di
Ciputat
Ini juga terbilang aneh. Kita (loe, gue) sekolah selama tiga tahun di Cikupa. Bernapas, bermain, dan hidup di lingkungan sekolah sekitaran Cikupa, bahkan sudah sangat mengenal baik dari ujung ke ujung. Tapi sialnya, saat menghadapi UAN justru harus merantau ke Ciputat selama seminggu penuh. Lokasi dan lingkungan yang sangat berbeda dengan Cikupa. Dan lebih horror lagi, beberapa kawan mendapati pengalaman mistis selama menginap di sana. Lebih konyolnya lagi, selama menjalani ujian di kelas terus diawasi dan dipantau oleh pengawas independen dari sekolahan lain. Mau nyontek siapa lu? Hahaha
·
Sekolah Rasa TK
Agaknya, saat kita sekolah dahulu adalah saat dimana kita tidak semenitpun mengingat bahwa kala itu kita sedang serius bersekolah. Isinya hanya mengobrol, bercanda, makan di tempat tongkrongan, dan bermain basket. Meski terkesan urakan, pembangkang, dan tak bisa dibanggakan (dalam pandangan guru), tapi sejujurnya kami sangat menikmati pendidikan dengan cara apa adanya kami. Tidak sedang berpura-pura menjadi sekumpulan anak baik, manis, penurut, dan bisa dibanggakan oleh para guru. Setiap hari kadang bermain basket tak kenal waktu, belum jam istirahat tapi nekat mengajak kawan lain bermain basket bareng. Pura-pura izin ke toilet di jam pelajaran tapi tak pernah balik lagi, malah merokok dan minum es berwarna di warung. Atau saat guru sedang serius memberi pelajaran di dalam kelas, para muridnya malah lebih serius dari gurunya (serius bercanda dan ngobrol di kelas), beberapa dengan santainya memilih duduk di pojok dan menikmati mimpi indah siang bolong (molor). Hahaha. Sekolah macam apa ini. Dan sederet perilaku konyol anak SMA angkatan 2003 kala itu. Tidak salah juga jika kemudian kita menyebutnya sengan sekolah rasa TK, sekolah yang kita nikmati dengan caranya sendiri. Kelakuan kalian jangan dicontoh ya buat anak-anak kalian.
·
Yang Hilang yang Sungguh Dikenang
Setelah puluhan tahun tanpa kabar, tanpa berita, tanpa
jejak, sepertinya tahun 2020 adalah tahunnya kita merayakan kesyukuran. Di
tahun ini sahabat-sahabat lama mulai bisa ditemukan jejak dan kabarnya. Ada
yang merintis usaha kuliner, jajanan anak. Ada pula yang meniti karir di
perusahaan-perusahaan sebagai pekerja dan orang kepercayaan, ada pula yang
memilih jalan berniaga. Senang rasanya mendapati kabar kawan-kawan dalam
keadaan baik, sukses, dan bahagia bersama keluarga kecil masing-masing. Tapi di
satu sisi, kita masih merasa kehilangan atas kabar dari beberapa kawan lainnya
yang sampai detik ini belum diketahui jejaknya. Dilacak via sosmed, belum
menemukan titik terang, pun kabar terakhir kawan lain yang pernah
berkomunikasi. Hasilnya, nirkabar. Apa kabarnya Firman? Apa kabarnya trio
Palembang (Nelly, Syamsiah, Khobir)? Dan apa kabarnya kawan-kawan lain angkatan
kelas 2 dan 3? Seperti apa rupa mereka saat ini? Seperti merangkai sebuah
puzzle, tak lengkap rasanya bila masih ada beberapa puzzle yang hilang atau
tercecer. Tak utuh.
“Bibirnya bagus, tipis” Begitu kira-kira ungkapan
pujian dari seorang Nelly yang masih sangat saya ingat saat itu di dalam kelas.
Atau dia pernah meminta gantungan tas berlogo Juventus kala itu, tapi tidak
saya berikan, sebab itu gantungan tim bola favorit saya.
“Med, gue nebeng donk ngerjain tugas resume bahasa
inggrisnya.” Begitu kira-kira kalimat dari seorang Khobir yang pagi itu ujug-ujug datang
ke rumah langsung masuk ke kamar. Ingin mencontek hasil tugas yang diberikan
oleh alm. Bpk Arsudin. Dan yang paling saya ingat, Khobir tak sekalipun saya
melihat dia pernah marah pada kawannya. Orang yang baik, murah senyum, humoris,
dan jahil.
Soal Firman, tak banyak yang saya ingat selain ketampanan
dan keahliannya bermain basket mampu memporak-porandakan hati seorang Aan.
Sampai benar-benar cinta mati dibuatnya. Hahaha
~
“Friendship is the hardest thing in the world to explain.
It’s not something you learn in school. But if you haven’t learned the meaning
of friendship, you really haven’t learned anything.”
“Persahabatan adalah hal tersulit di dunia untuk dijelaskan.
Itu bukan sesuatu yang kamu pelajari di sekolah. Tetapi jika kamu belum belajar
arti persahabatan, kamu benar-benar tidak mempelajari apa pun."
- Muhammad Ali
Dear sahabat. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Meskipun perjumpaan kita di sekolah berjalan singkat, tapi percayalah segala kenangan tentang kita tak pernah singkat. Masih ada episode kisah lainnya yang pantas untuk kita kenang dan kita bagikan kelak. Aamiin
Komentar
Posting Komentar