Chairil Anwar dalam Sebuah Catatan Asrul Sani (Sahabat sekaligus Penyair)

 


Pertama kali saya bertemu Chairil Anwar di Pasar Senen waktu zaman Jepang, ketika itu dia masih bercelana pendek dan dan saya juga. Kami berjumpa di sebuah toko buku bekas, kini tak ada lagi karena telah rata dengan jalan raya. Di sana langganan kami menjual buku yang tak dibaca lagi, sekaligus tempat berburu buku-buku loak yang mungkin menarik untuk dibaca. Bahrun Rangkuti, seorang mahasiswa sastra pernah meminjami sajak-sajak Chairil. Judul sajak-sajak ketikan itu 'Deru Campur Debu'.

Dalam pertemuan pertama itu Chairil tampak sangat lusuh, wajahnya kotor, bajunya kumal, matanya merah. Kelihatan tipenya pelahap buku. Saya menegurnya. Serta merta dia menjawab, "Kau suka baca juga, ya? Kau suka sajak? Mana sajakmu?" Waktu itu kebetulan saya bawa, dan saya berikan padanya. Chairil merasa bahwa di antara kami ada kesamaan dan kedekakatan, dalam hubungannya dengan Pujangga Baru dan sastra modern. Kami jadi akrab.

Di Jalan Juanda dulu ada dua toko buku. Toko buku Van Dorp, yang sekarang jadi kantor Astra, dan toko buku Kolff. Koleksinya luar biasa. Saya dan Chairil suka juga mencuri buku di situ. Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, 'Also Sprach Zarathustra'. Wah, itu buku yang mutlak harus dibaca. Chairil bilang sama saya, "Kau perhatikan orang itu. Aku akan mengantungi Nietzsche ini," katanya sambil menunjuk buku. Ia memakai celana komprang dengan dua saku lebar, yang cukup besar sanggup menelan buku itu.

Karena itu buku filsafat, ia diletakkan di antara buku-buku agama, yang ukurannya hampir sama dengan kitab Injil. Hitam juga warna kulitnya. Saya mulai memainkan peran saya, sementara Chairil cepat-cepat mengantungi buku. Hati saya jangan ditanya lagi, deg-degan setengah mati. Dalam sekejap mata buku itu berpindah tempat. Lantas dengan tenang kami melangkah ke luar. Sesudah sampai di luar tiba-tiba Chairil bilang, "Kok ini? Wah, salah ambil aku." Tangannya membolak-balik buku. Rupanya Injil yang diambilnya. Kami kecewa sekali.

Kelompok sastrawan masa itu gila membaca. Buku-buku orang Belanda, yang diinternir Jepang, banyak diloakkan di Pasar Senen, sehingga asal rajin ke sana, banyak bisa memperoleh karya sastra dunia, di samping buku-buku sastra Belanda. Rivai Apin, Idrus juga tukang baca. Idrus fanatik pada Ilya Ehrenburg. Chairil tidak. Idrus tidak suka Chairil, dan sebaliknya Chairil juga begitu terhadap Idrus. Kami berdua pernah pergi ke rumah Idrus, ketika itu Idrus sedang mengarang. Chairil mengejek-ejek Idrus dan Idrus marah-marah bukan main.

Hidup susah di zaman Jepang. Saya harus cari uang sendiri untuk nafkah. Saya pandai main biola. Dengan menyalin partitur dan buku musik, saya dapat uang. Pemasukan yang lumayan adalah jadi joki ujian Bahasa Jepang. Di waktu itu, pegawai negeri yang ingin naik pangkat dan dengan demikian naik gaji, harus lulus ujian bahasa Jepang. Saya pandai berbahasa Jepang, dan banyak juga huruf kanji yang hafal luar kepala. Saya menyamar ikut ujian bahasa Jepang, jadi joki untuk pegawai negeri yang ingin naik gaji itu. Berkali-kali itu saya lakukan, dan lumayan banyak honornya, 'lima' rupiah sekali ujian. Harga pisang sebutir waktu itu lima sen.

Di zaman merdeka saya dapat beasiswa dari republik, seingat saya melalui program Mohammad Natsir. Pada suatu hari di stasiun Manggarai dalam perjalanan ke Yogya saya ketemu Chairil, rapi dia, berpakaian khaki dril, celana pendek dengan kaus kaki tinggi dan menjinjing sebuah tas bagus. "Ini tas oom Sjahrir," katanya, "sajak-sajakku di dalamnya." Besar kemungkinan tas pamannya itu disikatnya. Dia memang masih ada pertalian darah melalui garis ibu dengan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Chairil tidak kenal waktu datang ke rumah. Saya tinggal di Jalan Mampang, kini bernama Jalan Cik di Tiro. Beberapa kali dia datang pukul 3 pagi, pada saat orang sedang lelap-lelapnya tidur. Dia tarik tangan saya, lalu diajaknya jalan. Dia kuat jalan, dari pagi sampai pagi lagi. Sepanjang jalan dia ngomong terus. Bayangkanlah betapa penatnya badan.

Kadang-kadang dari mulutnya keluar sajak-sajak batu. Dia cepat betul menghafal sajak. Ingatannya seperti karet busa yang cepat sekali meresap sajak. Dia perlu beberapa menit saja membaca, langsung hafal. Jadi kalau dalam puisinya kita temukan unsur-unsur puisi lain, tidak bisa dikatakan dengan sadar dia mengambilnya. Sebab dia itu ibarat kutu buku yang kena racun.

Chairil mempunyai rasa bahasa yang luar biasa untuk memberi makna pada kosa kata baru Indonesia. Ini bisa dilihat dalam sajak-sajaknya. Dalam penulisan puisi, dia sangat profesional. Teknik penulisan sajaknya unggul betul. Dia melepaskan bahasa dari kekuasaan kaum guru. Bukankah guru menuntut tulisan sesuai tata bahasa? Chairil tidakacuh pada aturan itu. Jadi kalau perlu, kita bengkokkan bahasa itu untuk menjelaskan apa yang ingin kita utarakan.

Kami berdua akhirnya, saling mempengaruhi. Tapi, tidak jelas bentuknya seperti apa. Sebab kalau kami sudah bicara puisi, malah kami bertengkar. Pernah kami bertengkar hebat di jalan raya. Dia berteriak di Jalan Gajah Mada, dan saya membalas teriakannya dari seberangnya, di Jalan Hayam Wuruk. Kedua jalan itu dipisah oleh kali Ciliwung. Dia marah marah karena saya menulis artikel yang mengkritik sajaknya di Mimbar Indonesia. Saya bilang, isi sajaknya kosong. Terlalu emosional. Tapi sesampai di ujung jalan, amarah kami mereda. Kami bersalaman, berbaik lagi, dan kemudian jadi semakin akrab.

Pada waktu itu, kami bertiga -Chairil Anwar, Rivai Apin, dan saya- mempunyai banyak kesamaan cara berfikir. Kami betul-betul seiring sejalan. Sampai lahir kumpulan puisi kami, Tiga Menguak Takdir, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1950. Puisi Rivai menurut saya sangat a-musikal. Datar saja. Tapi penghayatan puisinya dalam. Kalau dibaca satu per satu akan terasa kedalaman imaji-imajinya. Chairil tidak melihat buku itu terbit.

Memang kemudian, orang menyebut kami pelopor Angkatan 45 dalam kesusastraan Indonesia. Tapi, akhirnya, kami berpisah. Chairil Anwar meninggal.

Waktu bertahun-tahun kemudian aku mengenang peristiwa kematian Chairil, aku sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Tuhan sudah memanggil Chairil pada saat yang tepat. Ia meninggal di penghujung kepenyairannya menyurut. Sajaknya yang terakhir yang ia anggap berhasil dan yang sering ia bacakan sambil berjalan, ialah "Derai-derai Cemara". Ia berkata:

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

Sebelum akhirnya kita menyerah.

Si Binatang Jalang sudah menyerah. Ia pergi dengan meninggalkan bermacam reputasi, mulai dari anak kurang ajar sampai pada pencuri. Ia adalah seorang bohemien. Banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang petualang kumuh. Tidak. Chairil selalu berpakaian rapi. Kerah kemejanya selalu kaku karena dilanji, bajunya senantiasa disetrika licin. Ia bahkan boleh dikatakan dandy. Orang ingat pada matanya yang merah. Ia tidak mengerikan. Ia adalah seorang periang dan seorang sahabat yang baik. Ia dikuburkan di Karet, seperti ia katakan dalam sajaknya:

di Karet, di Karet (daerahku y. a. d.) sampai juga deru angin...

Chairil Anwar lahir di Medan, 26 Juli 1922. Meninggal pada usia sangat muda, 26 tahun 9 bulan, tepatnya tanggal 28 April 1949.

#Disadur dari Buku Kumpulan Puisi Chairil Anwar, Derai-derai Cemara.

 

Komentar

  1. Baca ini, membangkitkan ruh menulis kembali... semoga terealisasi... hihihu

    BalasHapus

Posting Komentar

Terbaru

Latihan

Warjito (Sebuah Memori dalam Puisi)

Yang Terserak Hilang Jejak