Kesaksian Batu Nisan di Tanah Penguasa Negeri Tersandera

Mati . .!!!
Lagi-lagi kabar itu terdengar
Tergurat di bait-bait lusuh surat kabar
Petaka yang menikam nurani benamkan gusar
Di retak-retak rasa memantik murka
Oleh aberansi tak henti suguhi lakon-lakon banci
Sembunyi di ketiak penguasa gadaikan harga diri
Di lembar-lembar uang panas lakumu yang culas
Sementara di sana, di antara dengkuran bilik desa
Si miskin masih saja ratapi cermin
Menatap diri tangisi hari kemarin
Dipenggal bilur-bilur takdir mereka

Terlalu . .!!
Air mata itu letih menjadi angin lalu
Setiap hari terjurai deraian duka
Mengemis iba di antara besi-besi keranda tua
Hujamkan luka semakin menganga
Dan getir hidup jadi candu sisa usia
Merajah di sekujur daksa yang bindam
Mereka,
dan nyawa yang lenyap dicabik taring-taring kuasa

Wahai penguasa negeri tersandera
Masihkah kalian bungkam samarkan buram?
Tentang mereka dan nasi aking dilahap nikmat bersama garam
Atau batu-batu nisan yang menjadi saksi acuhmu tuan
Tak peduli lenguh nadi sekarat
Direnggut maut melawan kalut
Tanggalkan sejenak jas dan dasi yang kau semat
Itu semua tak lebih setenggak madu sesaat

Wahai pendulang dahaga dunia
Tak cukupkah harta demamkan jiwa?
Dibungkam agitasi iblis tertawa sinis
Berbagi laksa pintu-pintu gratis
Tak sadar dibuai perangkap sadis
Dan ajal, kelak buatmu menangis

                   Tangerang, 24 April 2012 

Puisi ini dimuat dalam buku Suara Lima Negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam). Kumpulan Puisi yang terhimpun dari seleksi lintas negara Asia Tenggara sebagai bentuk karya sastra yang mewakili suara rakyat di negaranya. 


Komentar

Terbaru

Latihan

Warjito (Sebuah Memori dalam Puisi)

Yang Terserak Hilang Jejak