Puisi : Eksistensi Dialektika Nurani
Setiap orang tentu punya akal dan jiwa, terlebih hati nurani. Ya,
itulah kiranya yang menandakan manusia sebagai makhluk berbeda dari
makhluk ciptaan lainnya. Itu pula yang menjadikan manusia sebagai
ciptaan Tuhan paling paripurna, paling sempurna. Manusia dibekali hati
untuk merasa, manusia diberkahi rasa untuk menilai. Manusia berguna,
adalah ia yang mampu memaksimalkan ciptaan Tuhan yang melekat padanya.
Mampu menghadirkan sesuatu yang memiliki nilai tak sama, berbeda,
bermakna.
Dalam dunia literasi, sastra khususnya, puisi
masih menjadi bagian penting tak terpisahkan dari semangat berkarya dan
menanamkan eksistensi diri. Berkarya melahirkan gagasan ke dalam
tulisan. Menulis menegaskan ada-nya si penulis dalam eksistensi
tulisan-tulisan yang ia tuang. Tak jarang, puisi terlahir dari pusaran
jiwa yang tak lagi mampu tertampung dalam kubangan dialektika nurani.
Tak lagi sanggup menahan ledakkan emosi yang dikerangkeng kuat oleh
rasionalitas sikap dalam diam. Pun oleh sekadar letupan dimensi
kemanusiaan yang mengharuskan puisi menjadi serdadu diplomatis di garda
terdepan dalam tindakan dan pembelaan atas nama kemanusiaan,
ketidakadilan, atau keengganan untuk mendustai hati nurani.
Puisi,
sejatinya akan selalu tetap menjadi karya sastra yang suci. Merdeka
dari kotornya kepura-puraan, terbebas dari kungkungan sihir kekuasaan,
dan mampu menerabas lekuk-lekuk kejumudan karena tumpulnya suara wakil
Tuhan. Puisipun, akan selalu eksis mendampingi lengking nurani,
meramunya menjadi mahakarya penuh pesona.
Seorang Steve Borne
pernah berkata: “Puisi itu seperti seseorang yang sedang kerasukan,
tetapi kata-kata indah yang dilontarkan”. Kiranya, inilah yang
menjadikan puisi memiliki daya pikat, sihir, sekaligus daya ledak
berbeda dari karya sastra lain umumnya. Sewaktu-waktu puisi mampu
menjelma harimau buas yang memangsa keserakahan, kesewenang-wenangan,
dan kekejian yang tidak bisa ditolerir oleh akal pun secuil santunan
maaf. Sewaktu-waktu puisi bisa menjelma dewa cinta yang bersikap mesra,
romantis, mengharu biru, dan menancap di qalbu. Dan sewaktu-waktu puisi
bisa lunglai tak bertulang menjelma hamba Tuhan yang tersungkur pasrah
mengutuki khilaf dan dosa masa lalu.
Pembaca adalah raja
yang paling jujur dan bijaksana. Segala bentuk penilaian dan kebenaran,
biarlah menjadi tafsiran sekalian pembaca. Tentu itu akan jauh lebih
arif. Seorang Paul Natorp pernah mengatakan: "Segala kebenaran maunya
diketahui dan dinyatakan, juga dibenarkan; kebenaran itu sendiri tidak
memerlukan hal itu, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar
dan harus berlaku". Maka, biarlah kebenaran dan penialain itu mengalir,
memenuhi ruas-ruas tafsir yang berbeda hingga bermuara pada keagungan
nilai karya yang dimilikinya dan jujur apa adanya.
Salam Sastra
Salam Fastabiqul Khairat
Oleh : Meidi Chandra
Komentar
Posting Komentar