Impian Sederhana Menjadi Penulis (Part II/Selesai)
- Sebuah Buku, Sebuah Pintu
Kenangan ini mungkin
akan selamanya mengganggu, pun menjadi kisah yang tak layak dikubur
waktu. Dahulu, ketika masih menimba ilmu di tingkat SMA, tepatnya kelas 1
SMA. Kala itu, dengan segala kepolosan, tepat di ulang tahun ke-15 saya
mendapatkan sebuah bingkisan kecil. Sebuah kado. Sebuah kebingungan
lantas menyerbu. Bertanya-tanya dalam hati, apa maksud dari sebuah kado
itu? Seorang bernama Sarahita Riyadmika Pratami (biasa disapa Sarah).
Ya, dialah yang tiba-tiba mengejutkan saya dengan bingkisan kecil itu.
Singkat cerita, kado itu berisi sebuah buku diary kecil, bahkan terlalu
kecil untuk dikatakan sebagai sebuah buku. Saking terlalu
kecilnya, hampir saja buku itu langsung dibuang ke tempat sampah karena
bingung akan diapakan buku mungil itu. Akhirnya, sebagai bentuk
penghargaan, buku itu tetap disimpan di lemari untuk beberapa hari.
Bersama buku itu, terdapat pula ungkapan dalam selembar kertas terpisah.
Ungkapan itu ditulis tangan dengan bahasa inggris. Jujur saya sudah
lupa redaksi kalimatnya. Tapi intinya, dia mengutarakan doa teruntuk
saya melalui bingkisan itu. Tahukah sobat? Seorang Sarah ini ketika itu
masih siswi kelas 6 SD. Namun dia bukanlah sosok biasa, dia adalah siswi
kesayangan di sekolahnya dengan segudang prestasi yang melekat padanya.
Sejak kelas 1-6 SD dia selalu juara umum di kelasnya, langganan
beasiswa. Aneh bukan? Tapi nampaknya saya harus mengucapkan terima kasih
padanya atas bingkisan kecil itu.
Setelah beberapa hari merenung
perihal akan diapakan buku itu, akhirnya saya mencoba membuat buku itu
bermanfaat dan bernilai. Ya, buku itu mulai dipenuhi dengan
coretan-coretan kisah selama di sekolah. Awalnya tidak pernah
terpikirkan tentang menulis puisi, hanya sekadar menumpahkan perasaan
dan memotret peristiwa-peristiwa penting di sekolah, tanpa bentuk dan
aturan baku, mengalir saja. Hingga suatu ketika, tepat dipelajaran
Bahasa Indonesia, saat itu membahas materi puisi. Ada ketertarikan
tersendiri terhadap puisi setelah mendapat pelajaran itu. Dan akhirnya,
ketika itu saya mulai menuangkan tulisan ke dalam buku diary itu, sebuah
puisi. Tanpa disadari kegiatan menulis puisi itu terus berlanjut hingga
menjelang kelulusan. Ya, berawal dari buku itu pula akhirnya saya
menemukan sebuah pintu, jalan menuju dunia literasi.
- Lesap Ditelan Waktu
Ditahun
2003 saya resmi mengenakan almamater kebanggaan sebagai mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (kala
itu), Jurusan Manajemen. Tak dapat dipungkiri, dunia dan kesibukan
berbeda sebagai mahasiswa dan aktivislah yang akhirnya sedikit-banyak
merelegasi semangat tinta-tinta kecil ini meliukkan kisah ke dalam
lembaran kertas. Puisi-puisi itupun lesap, gugur tanpa jejak
meninggalkan ucap. Setidaknya untuk kurun 2-3 tahunan tak ada tulisan,
tak ada lagi puisi, hanya diary kecil yang menyendiri di antara
keramaian buku-buku dalam lemari pribadi. Amanah suci organisasi,
tuntutan perbaikan nilai-nilai mata kuliah yang pucat pasi, identitas
diri yang masih terus dicari, prestasi yang tak henti mengusik langit
mimpi. Ya, sekurangnya beberapa hal itulah yang akhirnya secara tidak
langsung mengebiri semangat saya dalam menulis dan berkarya. Praktis
dalam kurun waktu itu beberapa kali saja ide, fikir, dan rasa mampu
tertuang ke dalam lembaran kertas putih penuh makna pun cerita. Meskipun
saat ini baru disadari bahwa kerikil-kerikil itu adalah pelengkap dari
kisah yang terserak, yang seharusnya terabadikan dalam sebuah sajak.
- Menyilik Momentum, Menggerakkan Pendulum
2007.
Tahun itu adalah tahun yang spesial. Ditahun itu, saya menjabat sebagai
Bendahara Umum dikepengurusan IMM Ciputat periode 2006-2007 setelah
ditahun sebelumnya dipercaya menjabat staf bidang kader periode
2005-2006. Tepat di tahun 2007 jelang berakhirnya masa amanah sebagai
Bendahara Umum, saya memiliki keinginan yang belum terpenuhi. Akhirnya,
dengan menyilik momentum kala itu sebagai BPH di organisasi, saya
beranikan diri menggagas sekaligus menginisiasi terbentuknya lembaga
satelit baru untuk menampung minat-bakat para mahasiswa dalam dunia
sastra. Tepat di tanggal 17 bulan ramadhan kala itu, lahir dan
diresmikanlah Lembaga Sastra Tinta, dan saya dipercaya menjabat direktur
eksekutif. Lembaga Sastra Tinta adalah lembaga satelit non-profit yang
hanya fokus untuk menggali dan mengembangkan bakat-bakat potensial untuk
terus belajar, berkarya, berprestasi, dan memberikan nilai manfaat bagi
diri sendiri serta sosial.
Saat itu, LST hanya beranggotakan
beberapa personil yang memiliki bekal tekad, impian, mau belajar, dan
kerjasama tim. Anggota LST saat itu di antaranya adalah Rini Setiani,
Warjito, Hafidin, Lia, Irma, Saleman, Mayang Maharani, Dinah
Sintiaulvah. Melalui kombinasi talenta-talenta spesial ini, LST berhasil
menelurkan ratusan karya dan banyak prestasi membanggakan, baik di
tingkat fakultas, universitas, maupun nasional. Antara lain: juara I
lomba baca puisi tingkat jurusan, juara I lomba baca puisi tingkat
fakultas memperingati hari Kartini, juara harapan II lomba baca puisi
Rida K. Liamsi tingkat nasional, dan lainnya. Adapun ratusan karya tulis
berupa cerpen, esai, dan puisi tak luput dari prestasi dan apresiasi.
Hingga kini masih terabadikan dalam sebuah blog dan file tersimpan.
Pada
akhirnya, detik ini hingga kematian kelak, pendulum kreatifitas itu
masih akan terus bergerak, menggoreskan karya-karya terbaiknya, memberi
nilai manfaat, dan menginspirasi dunia literasi.
- Membaca Lekuk-Lekuk Kecil Peristiwa
Berbicara
masalah karya sastra semisal novel, cerpen, esai, maupun puisi, semua
tak bisa terlepas dari kepingan inspirasi yang melingkupinya. Terkadang
kita terlalu menempatkan minat dan hasrat pada hal-hal besar yang berada
jauh dari lingkaran kehidupan kita. Kita pun terlalu abai pada hal-hal
sederhana yang justru lekat dengan kehidupan sehari-hari. Penulis besar
adalah ia yang dengan mudah menemukan dunia dan kenikmatannya dalam
menulis justru dari penggalan-penggalan kecil yang terserak di
sekitarnya dan dari pembacaannya atas apa yang terlupakan oleh orang
lain. Taufik Ismail adalah contoh sederhana seorang penulis yang mampu
menemukan dunianya dalam refleksi kritis atas isu-isu yang menyentuh
lempengan nilai-nilai kemanusiaan, ketuhanan, lalu dituangkanlah ke
dalam sajak-sajak cerdas, lugas nan elok ketika dibaca. Pun dengan
Chairil Anwar, menawarkan ketajaman pesan dan liukan indah
diksi-rima-majas dari puisi-puisi karyanya yang berhasil mengutip dari
letupan jiwa dan pembacaannya atas apa yang dirasa, dilihat, dan
didengar. Andrea Hirata, Ahmad Fuadi adalah dua kombinasi yang mampu
menuangkan tetesan pengalaman masa lalu menempuh pendidikan ke dalam
gelas-gelas kecil bacaan yang menginspirasi untuk dinikmati dan
dijadikan vitamin motivasi bagi banyak pembacanya di seluruh nusantara.
Itulah
mengapa (menurut saya) menjadi penulis adalah dimulai dari menggagas
ide-ide maupun peristiwa kecil ke dalam kumpulan tulisan tak terhingga,
tak terukur nilai. Terkadang inspirasi itu menghampiri saya justru dari
hal-hal sederhana yang terlintas dalam pikiran dan terekam dalam
pandangan. Puisi berjudul Penjaja Kopi Keliling, Si Tua Renta, Asap, dan
banyak puisi seputar pendidikan, kemanusiaan, religi, politik, hukum,
cinta, adalah sekelumit serpihan peristiwa kecil yang bisa saya abadikan
ke dalam sebuah tulisan (puisi). Maka dalam hal ini, membiasakan diri
dengan membaca lekuk-lekuk kecil peristiwa akan mengasah kemampuan diri
untuk lebih mudah menuang ide, rasa, dan pikir menjadi tulisan-tulisan
yang penuh nilai kritik, inspirasi, dan motivasi.
- Menulis Dengan Hati : Membaca Ironi, Menggelitik Saraf Nurani
Mengasah
nurani bagi seorang penulis adalah sebuah pengayaan dari sisi lain
ruang jiwa dan kepedulian kita terhadap lingkungan pun sesamanya.
Mungkin tak banyak penulis peduli terhadap ring (lingkaran)
ini, mengingat tidak semua kategori kepenulisan membutuhkan sentuhan
jiwa terdalam untuk memuntahkannya menjadi tulisan berharga. Namun hal
ini menjadi agak mustahil bahkan konyol bagi seorang
penulis puisi untuk melahirkan karya-karya terbaik tanpa melibatkan
jiwanya dalam membaca pesan berupa ironi di sekeliling kehidupannya.
Meskipun pada titik tertentu seorang penyair merdeka dari pergulatan
batin yang menggelitik saraf-saraf nuraninya. Inilah yang kemudian
membuat karya puisi menjadi kering dari sensitifitas nilai, manakala
menulis hanya melahirkan karya-karya yang abai dan menempatkan jiwanya
pada letak di luar keterlibatannya terhadap apa yang ditulis.
Membaca
ironi adalah bukti, bukti bahwa sajak menyampaikan pesan-pesan kecil
ilahi. Membaca ironi adalah empati, peduli pada apa yang terlupakan dan
menuliskannya dengan hati.
Ya. Puisi-puisi yang selama ini telah
dan akan terus ditulis, adalah gumpalan dari ledakan saraf nurani yang
merekam selaksa peristiwa-peristiwa penting (terkadang sepele)
penuh ironi dan terabadikan, menjadi sebilah tajam puisi kritis. Puisi
berjudul Tahu dan Tempe, Syahadat di Bumi Palestina, Sekolah Kandang
Kambing, Kesaksian Batu Nisan di Tanah Penguasa Negeri Tersandera,
adalah sedikit dari banyak puisi yang berhasil saya tuangkan di tengah
amuk nurani saat menuliskan itu. Hanya puisi cinta dan religi yang
sepertinya bias dari ledakan-ledakan jiwa saat menuliskannya.
- Menulis = Menabur Identitas
Dahulu,
tema cinta seperti menjadi arak, menjadi candu yang menyajak. Itulah
mengapa ada kesan awal yang melekat pada diri saya saat itu, yaitu
pujangga cinta. Ini tak lepas dari kebiasaan jemari menuliskan cinta
menjadi kisah lain dalam bentuk puisi. Lama, ternyata proses
menghilangkan image itu terlalu sulit. Hingga kemudian saya
membuang jauh ide cinta dalam pikiran dan rasa untuk waktu yang lama,
tak lain adalah untuk keluar dari lingkaran kejumudan dan tumpulnya
kreasi berpuisi. Identitas sebagai penulis puisi cinta mungkin sudah
didapatkan saat itu, namun identitas sebagai penulis puisi yang bisa
menuliskan banyak hal tanpa batas, terlebih identitas sebagai penyair
sungguh teramat jauh dari penilaian dan kesan yang tercermin. Itulah
mengapa sejak LST didirikan di tahun 2007, sejak itu pula ada hasrat
untuk terus menggali ilmu, pengalaman, kreasi, sekaligus menabur
identitas hingga kini.
Pertanyaannya sederhana. Untuk apa identitas?
Ya.
Identitas bukanlah sebuah piala, piagam, bahkan hadiah uang tunai.
Identitas bagi seorang penulis sederhananya adalah persepsi yang
terpikirkan pertama kali bagi si penikmat tulisan-tulisan kita.
Pramoedya Ananta Toer, semua orang akan melabelinya dengan identitas
sebagai sastrawan karena karya-karyanya variatif di bidang sastra,
meskipun dominan melahirkan karya puisi. Maka dalam hal ini, menabur
identitas adalah sebuah hal yang niscaya bagi seorang penulis. Semua
persepsi dan apresiasi berpulang seutuhnya pada pembaca.
Hingga
kini, identitas yang telah terbangun dalam persepsi spontan dari sahabat
pena, sahabat pembaca, dan kritikus sastra masih belum dapat saya
simpulkan ketika mereka membaca puisi-puisi buah karya saya pribadi.
Karena itu bukan ranah yang wajib diperhatikan bagi seorang penulis.
Yang pasti, identitas awal sebagai pujangga cinta telah musnah, idealnya
seperti itu. Biarlah penikmat karya tulis kita yang memberikan
identitas itu, jujur, apa adanya, tulus, dan tanpa kepura-puraan.
- 1% Prestasi + 1% Apresiasi = 100% Motivasi
Setiap orang rasanya perlu melakukan rethinking
atas apa yang telah dicapainya dalam proses hidup ini. Apakah akan
tetap menjadi manusia dengan catatan kosong, atau menjadi manusia dengan
catatan khusus. Tentu seruan ilahi Robbi untuk hamba-Nya yang beriman
bukanlah main-main dan semata imbauan. Titah untuk hamba-hamba-Nya agar
ber-fastabiqul khairat sepertinya harus mendapatkan ruang khusus dalam jiwa dan ritme perjalanan hidup ini. Ber-fastabiqul khairat
bukan sekadar berlomba-lomba dalam kebaikan, lebih dari itu,
berlomba-lomba menjadi hamba-Nya yang terbaik dan prestatif. Bahkan
seorang Abraham Maslow pun menempatkan kategori manusia terbaik pada
level piramida tertinggi setelah physiological needs, safety and security needs, social needs, dan esteem needs, yaitu manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya (self actualization) dalam berkarya dan mengorganisasi dirinya menjadi pribadi yang tangguh dan prestatif.
Satu
hal yang paling saya ingat adalah ketika membaca hasil pengumuman dari
lomba menulis puisi oleh sebuah penerbit dengan tema utama Puisi Cinta
Untuk TKI pada bulan Mei 2012. Dalam deretan nama-nama penulis dan
naskah terpilih yang akan dibukukan, seakan sulit bagi saya untuk
mempercayai apa yang telah dilihat saat itu. Ya, nama dan naskah puisi
saya dengan judul Siapa Nama Berikutnya? ternyata ada dalam 99 naskah
terpilih itu. Masih dalam kondisi tak percaya, hampir saja saat itu juga
netbook saya banting sebagai bentuk ekspresi kegembiraan dan suka cita.
Bagaimana tidak, itulah kali pertama karya tulis saya diapresiasi oleh
pembaca, dalam hal ini tim juri seleksi naskah. Hal itu pula yang
menjadi titik awal sebuah prestasi bagi saya sekaligus apresiasi
berharga dari pembaca.
Kiranya, kombinasi 1% prestasi dan 1%
apresiasi itulah yang menjadikan saya hingga kini memiliki modal 100%
motivasi untuk terus menulis dan berkarya, terkhusus menulis puisi,
apapun, kapanpun itu. Hingga saat ini, sudah ratusan puisi terserak di
blog dan FB pribadi dan lebih dari 10 buku antologi bersama (nasional
terbatas, asean, dan eropa). Adapun kebanggaan terbesar adalah bisa
menjadi salah satu dari yang terpilih mewakili Indonesia dalam Antologi
Puisi Suara 5 Negara (Indonesia, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia,
Thailand). Selain itu, masuk dalam daftar karya terpilih antologi dwi
bahasa (indonesia-inggris) yang dipasarkan dan dijual di Eropa dan AS.
Semoga, quantum kecil prestasi di atas dapat terus bertambah dan bisa
memberikan inspirasi bagi banyak sahabat pena, sahabat pembaca, dan
penikmat sastra lainnya hingga ajal meniupkan senja di akhir usia. Dan
semoga serpihan kecil tulisan ini setidaknya bisa memberi sedikit
motivasi dan refleksi bagi semuanya. Aaamiiin.
Terakhir
sebagai penutup dari tulisan kecil ini, saya kutip beberapa kalimat
motivasi dari beberapa tokoh ternama yang konsisten dalam menulis dan
berkarya:
“Seorang penulis bukan penjual manisan,
pedagang kosmetik atau seorang penggembira. Dia adalah orang yang telah
menandatangani kontrak dengan hati nurani dan melaksanakan kewajibannya:
menulis apa yang dilihatnya, apa yang dirasa, jujur, dan tulus”
#Anton Chekov (Sastrawan Rusia)
“Jika kamu bukan anak seorang raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah seorang penulis” #Al-Ghazali
“Jika
usiamu tak mampu menyamai usia dunia, maka menulislah. Menulis
memperpanjang ADA-mu di dunia dan AMAL-mu di akhirat kelak.”
#Helvy Tiana Rosa
“Seseorang boleh saja pandai setinggi langit. Namun selama ia tidak menulis, maka ia akan lenyap oleh pusaran sejarah”
#Pramoedya Ananta Toer
-----------------------------
Salam Literasi
Salam Fastabiqul Khairat
#MSP
Komentar
Posting Komentar