Puisi Dalam Sebuah Catatan Kritis
Tulisan ini tidak sedang memuntahkan teori. Pun tidak sedang
menggurui. Terlebih menghakimi. Tapi rasanya, jemari ini memang sudah
terlalu gatal ingin menuliskan hal penting perihal puisi dalam tinjauan
tak biasa dunia sastra. Tak hanya beralasankan karena kecintaan saya
pada puisi, tapi memang ada aspek menarik yang harus tuntas dikuliti.
Detik ini.
Let’s begin!!
- What’s the Meaning of Poem?
Hingga
detik ini, saya selaku penulis puisi tak pernah menemukan tafsir
aklamasi mengenai apa itu pengertian puisi. Setiap kepala pemuisi akan
mengemukakan hal berbeda perihal tafsirannya atas pengertian sebuah
puisi. Lantas, apa itu puisi? Mari kita kupas.
Pertama, puisi berasal dari bahasa Yunani kuno (poieo/poio = i create) adalah seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. (wikipedia).
Di sini kita bisa membuat batasan, bahwa puisi sangat tergantung pada
bahasa sebagai elemen terpenting terciptanya sebuah tulisan yang
memiliki nilai estetika. Dalam komponen bahasa puisi, tentu kita akan
menemukan diksi, majas, rima, metrum, dan lainnya.
Kedua,
puisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai ragam sastra
yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik
dan bait.
Ketiga, puisi dalam pandangan para tokoh. Berikut ini beberapa kutipan pandangan mengenai arti puisi:
H. B. Jassin: “puisi adalah pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan”.
Ralph Waldo Emerson: “puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin”.
James Reeves: “puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat”.
Herbert Spencer: “puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan”.
Dari
beberapa penjabaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa puisi tak akan
pernah menemukan muara pengertiannya secara tunggal. Ia akan senantiasa
berkelit dari tafsir, sebab kata pun kalimat yang menjelaskan puisi itu
akan terasa sumir. Selalu saja akan dikembalikan pada kebebasan sudut
pikir untuk meramu tafsir. Oleh sebab itu, jangan pernah terjebak pada
teralis arti, biarkan saja puisi bebas dan tegas berdiri. Sebab puisi
memang terlahir untuk membebaskan emosi menjadi imajinasi, menumpahkan
pikiran menjadi tulisan, dan memuntahkan rasa menjadi kata-kata.
- Poem = Unique
Saya
ingin mengatakan bahwa puisi tak akan pernah serupa dengan novel,
cerpen, esai, terlebih artikel. Puisi adalah unik. Bila genre sastra dan
tulisan lainnya sangat terikat EYD dan tata bahasa, maka puisi tak akan
pernah terikat aturan baku itu. Tulisan selain puisi akan sangat
dipandang aneh manakala ia keluar dari pakem EYD-tata bahasa,
sembarangan mencomot kata-kata tak umum, terlebih menggunakan
kata-kata kasar pun vulgar. Namun dalam rimba karya puisi,
keanehan-keanehan itu sepertinya menjadi hal yang lumrah, bahkan sangat
menarik untuk dikulik.
Percaya ataupun tidak, ini pengalaman pribadi. Suatu ketika saya pernah dibuat sangat jengkel oleh komentar sahabat pena di sebuah grup kepenulisan yang (terkesan) beliau sangat paham dan mengerti apa saja yang harus dikuliti dalam puisi. Tentu ke-jengkel-an
saya kala itu sangat berdasar, referensif,
dan mengacu pada pengalaman membaca dan mempelajari banyak
puisi, baik indonesia pun internasional. Saat itu saya dibuat jengkel
dengan komentar seputar diksi yang (menurut argumentasinya) salah dan tidak tepat
penggunaannya. Detik itu pula, ingin rasanya balik menyerang dan
menghantam telak sahabat tersebut dengan teori dan referensi bacaan yang selama ini
saya pahami dan miliki. Tetapi saat itu saya lebih memilih untuk
tersenyum dan memperhatikan kritik-argumentasi yang dialamatkan pada
saya. Well, penasaran seperti apa puisinya? Berikut saya kutipkan puisi itu:
Jengah aku dengar riak hujan gerimis
Sementara keluh tanah kian terasa amis
Menyengat napas muntahkan selongsong tiris
Menatap banjir melabuhkan tangis mengiris
Aku tak bisa membaca catatan alam
Yang meninggalkan remuk kelu di kesunyian malam
Dan raung si kecil mencari hangat di selembar tilam
Atau sebatang kepul asap tak lagi bingar lewati kelam
Yang kupahami hanya setangkup pesan di sana
Di antara air mata dan mata air murka
Tertinggal tangan-tangan hitam mengepul dosa
Menelanjangi bumi lenguh tak berdaya
Dan segulung bencana adalah surat kecil dari-Nya
Nah,
yang menjadi kritik utama dalam pandangannya saat itu terletak pada dua
kata di atas yang telah dipertebal hitam. Ya, kata riak dan hujan.
Dalam pandangannya, kata riak di situ tidak tepat, sebab riak lebih
kepada dilihat, bukan didengar. Lebih tepat dihapus dan diganti.
Kemudian kritik kedua, kata hujan menurutnya tak tepat bila disandingkan
dengan kata gerimis, karena dua kata tersebut memiliki dua pengertian
yang berbeda meskipun mirip. Lantas, apa yang salah? Semua sudah tepat. Eiiits.. tunggu dulu.
Di
sinilah saya ingin mengulangi kata-kata di atas, puisi = unik. Mau tahu
apa landasan bantahan dari saya? Yuk, baca kembali puisi nyeleneh berikut ini:
O
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasia siabalau siarisau siakalian siasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong o risau o Kau O...
17 Nov 1999
------------------------------------------------------------------------
Bagaimana, apakah sudah paham dengan makna puisi itu? Coba gali dan kritisi dalam tinjauan EYD, diksi, serta tata bahasa.
AMUK
Oleh :
Sutardji C. Bachri
.... aku bukan penyair sekedar
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata memanggilMu
pot pot pot
pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
pot
hei Kau dengar manteraku Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu mapakazaba itasatali
tutulita papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco zukuzangga
zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze aahh...!
nama kalian bebas carilah tuhan semaumu
---------------------------------------------------------------
Bagaimana, apakah sudah mulai geleng-geleng kepala? Tunggu. Ini belum tuntas.
TRAGEDI WINKA & SIHKA
Oleh : Sutardji Calzoum Bachri
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku
-----------------------------------------------------------------------
Nah,
sekarang apakah sudah mulai jungkir balik setelah membaca puisi yang
terakhir tersebut? Coba telaah dan cerna dalam sudut pandang EYD, tata
bahasa dan tafsir makna.
Pertanyaannya sederhana saja.
Apakah EYD dan tata bahasa masih dipegang teguh oleh si penulis puisi
tersebut? Jawabannya tentu saja tidak. Semua puisi di atas seperti
sebuah kata dan kalimat kacau-balau, tak beraturan, melenceng jauh dari
pakem aturan main bahasa yang selama ini kita tahu, terlalu rumit untuk
dicerna nalar. Bahkan seorang profesor pun belum tentu mampu memahami
hakikat makna yang terkandung dalam puisi tersebut di atas.
Faktanya,
hingga detik ini saya tidak pernah mendengar ada seorang penyair,
sastrawan, bahkan guru besar bahasa Indonesia yang memprotes dan
menentang keras puisi-puisi SCB itu. Justru puisi-puisi itu banyak
mendapatkan apresiasi luar biasa di kalangan penulis, sastrawan, dan
tokoh penting lainnya dalam dunia literasi.
Lantas,
untuk apa EYD-tata bahasa? Inilah yang saya maksudkan dengan keunikan
dari sebuah karya puisi. Dia bisa dengan mudah menerabas batasan EYD dan
ketatabahasaan, diksi, bahkan aturan baku yang umumnya wajib ada dalam
semua jenis tulisan selain puisi. Coba bayangkan, kok bisa-bisanya
beliau memberikan judul puisi dengan hanya satu huruf, O. Atau kalimat
putus-putus ala zig-zag yang hanya menempatkan dua sampai 5 huruf saja
setiap barisnya.
Inilah yang kemudian menjadi landasan referensi atas ke-jengkel-an
saya tadi. Tentu sahabat semuanya tercengang dan terheran-heran dengan
puisi Sutardji Calzoum Bachri di atas, tapi tentunya bukan hanya beliau
yang berhasil menghadirkan karya puisi ke tengah-tengah penikmat sastra
dengan bentuk aneh nyeleneh. Masih banyak pemuisi tanah air dan
luar negeri lainnya yang berhasil memberikan warna menarik dalam
khazanah dunia tulis puisi.
Berdasar itu, dalam hal ini
saya ingin sedikit mengambil kesimpulan. Bahwa puisi terlahir tidak
untuk terikat EYD dan aturan baku tata bahasa Indonesia. Ia hanya akan
berdiri mengikuti naluri imajinasi dan mengakar kuat menghadirkan daya
pikat.
Sebagai penutup pada pembahasan ini, sebagai
penegas atas pemikiran di atas bahwa puisi = unik, saya ingin mengatakan
bahwa –meminjam ungkapan Seno Gumira Adjidarma- “Jika puisi atau cerpen
tertib, ditulis sesuai dengan tata bahasa, dan penalaran sesuai
kebiasaan, maka ia hanya akan menjadi ‘keterangan’ saja. Dan jika
terjadi yang demikian, alangkah tidak menariknya dunia!”
- Hati-hati, Jangan Terjebak pada Dogma Puisi
Seperti
halnya ada sebuah dogma dalam agama, maka akan pula ada dogma dalam
sebuah karya puisi. Dalam hal ini, dogma bisa diartikan sebagai pokok
ajaran yang tidak boleh dibantah. Bila dalam agama ada absolutisme nilai
yang tak boleh dilanggar, maka dalam puisi ada absolutisme teori yang
akan selalu melekat, entah sadar maupun tanpa kita sadari saat menulis
sebuah puisi.
Bila dalam sebuah cerpen/novel kita
mengenal unsur tema, alur/plot, penokohan, latar/setting, dan sudut
pandang tokoh. Maka dalam puisi kita akan mengenal kata, larik, bait,
bunyi, rima, dan irama. Yang ingin saya garis bawahi pada bahasan ini
adalah, seringkali kita terkungkung oleh keharusan memikirkan dan
memperhatikan unsur-unsur tadi ketika menulis sebuah puisi. Pada
akhirnya, inilah yang kemudian menjadi hal yang bersifat dogmatis.
Praktis saat dogma itu memenjara kreatifitas, maka kita akan mengalami
kebingungan dan kebuntuan saat menulis puisi.
Menulis
puisi tak selalu mengharuskan kita memasukkan unsur-unsur tersebut ke
dalam sebuah puisi. Menulis puisi hanya membutuhkan imajinasi, rasa, dan
kearifan menyuplik hal-hal sederhana yang sejatinya memang sudah
terhampar di hadapan kita, pun melekat dalam memori kita. Jadikanlah
dogma puisi tadi hanya sekadar pengetahuan yang harus kita pelajari dan
pahami. Sebab menulis puisi adalah pekerjaan ringan sederhana sekaligus
menyenangkan. Tidak percaya? Berikut saya cuplik sebuah puisi dari buku
kumpulan puisinya Muhammad Asqalani Eneste yang berjudul Tangis Kanal
Anak-Anak Nakal.
Elegi
Oleh : MAE
Lebih baik puisi mati daripada membangkai dalam hati
Lelaki Muallaf
Oleh : MAE
Aku berbuka
Tapi lupa baca bismillah
Apakah puasaku berkah?
Jangan-jangan tidak sah
-----------------------------------------------------
Perhatikan
puisi pertama. Sederhana, bukan? Satu baris saja sudah menjadi puisi.
Kemudian puisi kedua. Yang hanya seperti curhat dalam buku diary, tapi
menjadi puisi yang sangat eksotis dengan hanya bermodalkan rima. So,
sangat mudah, bukan? Tak sesulit yang kita bayangkan.
Berkali-kali
saya selalu ingin mengatakan hal ini: ‘jangan takut untuk menulis
puisi, jangan pernah lari dari kumpulan kata-kata yang menunggu untuk
kau bumbui imajinasi’. Sebab –meminjam ungkapan sastrawan Premoedya
Ananta Toer- ‘menulis adalah sebuah keberanian’. Selama kita berani
untuk menulis, maka ilhamlah yang akan mengikuti kita ke manapun pena
melangkah.
Demikian tulisan sederhana ini, semoga
bermanfaat. Bila ada kritik, sila kau sampaikan. Bila ada pujian,
lupakan. Selamat menulis, dan salam sastra!!
--------------------------------------------
07-06-2014
#MSP
Komentar
Posting Komentar