Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Bukan Kunci Jawaban

Mencintai Tak pernah butuh sebuah alasan Tak pula sebuah penjelasan Sebab cinta bukan kunci jawaban Ia fitrah dari Tuhan

Tangis Hujan

Aku hanya butuh tangis hujan Tuk jelaskan apa yang tak mampu kuucapkan Cinta dan rindu yang datang bergantian

Siapa Yang Hendak Kautuduh Pencuri?

Haduuuh Ini negeri memang gaduh Negerinya para tikus perusuh Pantas saja rakyatnya hanya pesuruh Terus dicekoki kotoran politik yang keruh Mana berita mana bencana diaduk lalu disepuh Ada papa tikus minta saham Dijamin jalan mulus asal diam-diam Situ kasih roti isi, kami beri garansi Aman dan tenang-tenanglah selagi kami eksekusi Yang penting kau tambahlah lapar saldo kami Lalu apa kabar kontrak karya? Tiba-tiba hening dari santap berita Lalu datang membawa kabar petaka Bolehlah kalian berkuasa lebih lama di Papua Dengan seperangkat kesepakatan entah dari mana Di Ibu Kota banyak sekali pencuri Tak guna lagi tuk ditutup-tutupi Dagelan politik memang akan selalu jadi banci Bagi mereka yang datang membawa lancung janji Mencabik sumpah jabatan atas nama ilahi Lantas mengapa kuasa tambang di Papua tak juga kita sebut pencuri? Melubangi gunung-gunung rahim pertiwi Dengan tertawa lalu pergi Merampas harta paling kilau dari negeri Lalu siapa yang hendak kau tuduh ...

Dear Ken

Kau terlahir dari kepasrahan Yang mengular berbulan-bulan Dalam tunduk doa-doa kepada Tuhan Mengiba riang si kecil dalam dekap kecintaan Kau tercipta dari kemurahan Yang Ia beri di tengah penantian Meski di lain cerita ada tabah memilukan Berkali mencoba mengetuk rajuk Tuhan Namun takdir belum jua bawa setangkai senyuman Kau adalah ritmis kesyukuran Yang mengudara bersama bait puja-puji di kesunyian Sebab cinta telah Ia labuhkan Sebab amanah telah Ia sematkan Pada kelindan kasih tuk rengkuh ridha-Nya Pada langkah pijak tuk gapai surga-Nya Semoga . . .

Ingin Menciummu, Nak

Pada hujan yang genit malam ini Mengapa kau menggodaku lamat-lamat Aku tak ingin perjumpaan menelan kesendirian Sebab atma masih kutinggal jauh bersama benih kerinduan Meski sementara saja harus kutaklukkan Bentang jarak yang menyakitkan Oh, tidak Betapa lesung pipitmu menerorku Mengajakku melangut ingin menciummu Sepuas aku Hingga kudengar kembali tangismu Dalam peluk timang-timang redakan teriakmu  

Ada Yang Masih Harus Kudaki

Duhai hujan Yang membawa serdadu berjuta ribu Pantas saja aku tak berlari terburu Melihat jatuhmu di jalan tak berbatu Di tanah sawah yang mendenguskan napas rindu Rupanya telah lama aku tak menikmati Tarikan belut di dalam lubangnya sendiri Melawan tipu daya diumpan cacing lugu Hingga menyerah keluar ia membawa malu Menelan kail umpan yang tak lagi nikmat diburu Ah, di ibu kota tak kutemukan alam yang jenaka Bermain dengan suara angin mengibas raga Berjingkat kaki di tengah sawah yang basah Sembari menunggu sore bawakan senja merah Bersama kumandang adzan dari segala arah Ah, rupanya esok aku harus kembali Ke kota kelahiranku yang masih tak terganti Sebab di sana ada mimpi-mimpi Yang masih harus kudaki Akan kutinggalkan kuncup rindu di sini Sebagai bekal esok kukembali

Nyanyian Pengamen Perempuan

Bahasamu saja aku tak mengerti Sementara lagu terus saja kau beri Dengan volume terus meninggi Kau tandu iba di sebalik malu dalam hati Sebelum pergi membawa kotak bising Seperti biasa kau berputar keliling Mengiba rupiah dari tangan-tangan kering Yang memberimu sejumput rekah senyum hening Kau sendiri Dari bus ke bus kau berlari Membawa takdir hidup yang terus membuntuti Meski tak pernah tahu di mana ajal kan kau temui

Namamu Dalam Takdirku

Kau tak harus membenci masa lalu Yang sembunyikan tangismu di langit kelabu Sebab lembut gerimis tak pernah tahu Betapa pernah kau mencintaiku segenap rindu Meski lauh al mahfuzh tak memahat namamu dalam takdirku

Isyarat Tangis Haru

Apa kabar hujan di desamu Yang membawa serta kabut rindu Sementara di sini aku menunggu Hujan membawa isyarat tangis haru Si tampan kecil terlahir ke dunia baru Di pelukan kasih dan sayang sepanjang waktu

Kembali Segala Aku

Hanya kepada Allah Kembali segala kesah Hanya kepada Allah Kembali segala ifah Hanya kepada Allah Kembali segala maghfirah Hanya kepada Allah Kembali segala fitrah Hanya kepada DIA Kembali segala 'aku'

Jangkrik

Adakah yang lebih menarik dari derik jangkrik? Bernyanyi sepanjang malam bersautan asyik Tak peduli siang tadi ditelanjangi terik Tiba-tiba datang membawa berisik Ah, Tuhan, Engkau memang terlalu baik Mengirimkan nyanyian rindu serdadu jangkrik Sebab di kota aku sudah jengah suara berisik Enigma negeri dan aneka rupa lancung politik

Mungkin Aku Membenci Waktu

Mungkinkah aku mulai membenci waktu? Yang terus mengelabui ke masa lalu Sekeras hati coba menebas ragu Seribu langkah terasa keliru Ranum cinta belum saatnya kupetik di malam itu Maafku Terpenjara waktu

Menuliskanmu Dalam Puja

Terkadang aku lupa dimana letak kata Sekelabat saja singgahi pikir lalu tiada Entah kusimpan dalam kusut jerami rasa Lepas dari cekat eja ucap yang terbata Sementara aku lumpuh dalam diam Kau tiba-tiba datang membawa sebilah tajam Tatap mata yang menyiratkan cinta paling dalam Padahal rindu telah kukebumikan di gelap padam Duhai cinta Aku tak ingin lagi melihat tangis pena Menyendiri ditimbun waktu pun debu jelaga Maka cukup biarkan aku menuliskanmu dalam puja Sebanyak rindu yang aku punya Agar tak ada lagi yang terluka

Papua, Tangis Luka Yang Tak Pernah Digubris

Aku tahu kau merintih Tubuhmu terus dilubangi perih Rahimmu emas, namun rakyatmu diperbudak malas Kau lahirkan harta durhaka lalu pergi dan tandas Meninggalkan papuamu dengan telanjang Lewat kontrak sinting yang terus diperpanjang Tertawalah si tuan asing di negeri kita yang jalang Dijaja murah di secarik hitam putih yang membuat berang Aku tahu kau menangis Luka-lukamu tak pernah digubris Tanahmu subur, namun gunung-gunung dibiarkan saja hancur Dipeliharalah buncit pejabat dan oknum-oknum lacur Menjamahi setiap jengkal tembuni bangsamu yang tersungkur Hanya menunggu kapan tiba saat dikubur Aku tahu kau terluka Namun sajak-sajakku tak akan henti bersuara Dengan segenap jiwa mari kita jaga Papua tercinta Tangerang, 10 September 2015

Hutan Dan Berita Sampah

Di Kalimantan hutan tiap tahun berduka Menangisi lahan dilahap panas api yang tertawa Menjalankan titah si tuan serakah menjamah belantara Ditukarnya paru-paru dunia dengan rakus harta Dilucutinya gunung-gunung dengan segala rupa cara Di Sumatera hutan tiap tahun menjadi pemangsa Menjelma pekat asap menghantui jalan-jalan raya Sekolah-sekolah dipaksa lumpuh dari aktifitasnya Rutinitas warga dipaksa henti dari kesibukannya Di Indonesia kebakaran hutan hanya secuplik berita sampah Hari ini ada di ruang baca dan dengar berita kesah Esok dilupakan dilempar masuk keranjang basah Tiada tindakan Tiada pengusutan Tiada kurungan Dan kembali harus kuucapkan: "inilah negeri kepura-puraan"

Harus Kutemukan Jawaban

Sebentar.. Biar saja senyum rekah di bibirmu melukis hambar Cukup kutatap lebih dalam makna ucap matamu yang tegar Meski berkali jantungku dimangsa debar Harus kutemukan jawaban Tentang hatimu yang menyimpan kepak sayap cinta di benam kerinduan

Kasur Dari Surga

Entah apa yang ada di pikiran mereka Tidur saja harus beralas lembut surga Kasur senilai 12 milyar dianggarkannya Gedung baru seharga lebih 1 Trilyun disodorkannya Entah kemana mata dan telinga mereka Harga daging tak kunjung reda Rupiah kian terkapar meroket gila Dan mereka membuat lelucon 'semua baik-baik saja' Entah di mana letak martabat dan nurani mereka Yang harusnya bisa bekerja keras membangun bangsa Yang harusnya menanggalkan syahwat harta dan kuasa Malah mengumpat licik di balik prasasti proyek yang masih enggan ditandatangani presidennya Astaga!

Mengalah Pada Waktu

Duhai lembayung sore yang menguning di langit tinggi Ingin kukemasi hati lalu bergegas pergi Meninggalkan amuk cinta di tengah larik puisi Sejenak saja biarkan aku sendiri Usah kau bawa kembali manis rindu yang telah kutebas mati Di hari itu Di senja sore yang meluruhkan airmatamu di hadapku Lewat tatap terakhir kala itu baru kutahu Wangi mawar terlalu kuat meninggalkan duri perpisahan yang baru saja ranum di kalbu Kau dan aku harus mengalah pada waktu Yang tak berpihak membawakan takdir cinta mengharu biru Duhai bidadari malam yang sembunyi di terik siang Kubenamkan seribu janji kita yang kini menjadi arang Sebab aku tak ingin terjerembab dan kembali pulang Pada cekam gelas hatimu yang membawa rindu untuk kita tuang

Merah Putih Di Segelas Kopi

Kulihat merah putih di segelas kopi Ada merdeka berkumandang dalam hati Hari ini bangsaku tak sendiri Kibar bendera kembali menangis di tiang tertinggi

Tentang Kau Yang Bersama-Nya

Ada rindu di kejauhan Tentang hujan Tentangmu yang telah di pembaringan Masih menyisakan sesak di dada Sebab akhirmu tak sempat kujumpa Meski kini kau baik-baik saja bersama-Nya

Ajari Aku Menulis Lagi

Kapan kau akan mengajariku menulis lagi? Aku ingin meminjam tangis di matamu Atau lengkung manis senyum di bibirmu Yang menuntun rima menuang makna Menyulam kata demi kata Kau dan aku lebur di sana Bersitatap membaca cinta Menahan degup membara di dada

Hujan Malu-Malu

Kembali menikmati hangat mentari Setelah kemarin hujan malu-malu mencumbu bumi Melepas rindu yang telah lama dipendamnya sendiri Merapal keluh dedaunan dan rumput kering yang hampir mati Kembali menitipkan doa Pada Dia Yang Maha Kuasa Kiranya hari ini hujan kembali dengan gembira Memeluk tanah dan sawah-sawah yang dahaga Masih mengiba secawan telaga kasih-Nya

Bila Malam

Bila malam tak lagi menyisakan rindu Biarlah aku menutup pintu Dan kutulis sebuah puisi Sebab jiwaku telah lama pergi Mencarimu di tumpukan kata-kata yang mati

Lupa Doa-Doa

Adakah langit mulai enggan Meluruhkan segerombol prajurit hujan Sementara sore serupa terik siang yang membakar Memeras teduh sawah-sawah kian terkapar Kerak bumi mengeras mencari setetes air yang mulai samar Adakah Tuhan sedang bergurau Menguji hambanya dengan sedikit kemarau Sementara lidah pagi tak lagi menyisakan secuil embun Tandas dimangsa malam yang dahaga di balik awan rimbun Adakah kita mulai lupa Bagaimana tangan tengadah memanjatkan doa-doa Di tengah-tengah ketakutan yang menjadi keributan Memuja gemulai dunia yang lekas menyingkirkan Tuhan Dari ketaatan dan kesyukuran Di sebait pinta hamba-hamba-Mu yang lalai tak berkesudahan

Rindu Yang Memangsa

Adakah malam Sembunyikan purnama Sementara hatiku cekam Melawan rindu yang memangsa Sungguh tak bisa kubenam Ranum cinta di hatimu yang luka

Agama Dan Wajah Serigala

Kita ini manusia purba Mudah terjangkit emosi segala rupa Mudah terbakar racun media Tersulut murka dendam membuta Hingga lupa kaki menjejak di mana Kita ini mudah sekali lupa Di belahan dunia Apapun agama, punya wajah serigala Ekstrimis Hindu di India Ekstrimis Budha di Myanmar Ekstrimis Islam di Indonesia Terbaru, ekstrimis Kristen di Tolikara Lantas, pantaskah kita menjadi Tuhan baru? Menghakimi mereka yang berbeda dengan segala peluru Peluru amarah atas nama solidaritas semu Peluru dendam atas nama agama palsu Sudahlah Bukankah agama telah meninggalkan ajaran indah? Berbaik budi pada sesama tanpa pandang ras dan warna jubah Berbagi toleransi di atas ketaatan pada Tuhan Yang Maha Pemurah

Ada Yang Tak Sanggup Kujelaskan

Ada yang tak ingin aku kenang Ihwal luka di hatimu yang karang Meski pernah kita berbagi ruang Memeluk rindu yang sama dikala kembali pulang Ada yang tak mampu aku dustai Ihwal cinta yang merambat di hati Meski pernah kucoba berlari Berpaling dari pinta di matamu untuk tetap di sini Di bilik hatimu yang setia menanti Dan ada yang tak sanggup aku jelaskan Ihwal rumitnya hati mencari kata persembahkan jawaban Meski purnama berkali datang dan pergi membisikkan Usah kembali pada rindu yang menggelorakan Api cinta tak berkesudahan

Biarkan Aku Menulis

Biarkan aku sendiri Menepi dengan liar pikirku Membaca dan menghabisi buku-buku Sebab aku hanya ingin berkawan itu Biarkan aku menulis Usah nasihatiku tuk ikuti laku sepertimu Bermain-main dengan jemari kosong itu Sebab waktuku lebih berharga Dari sekadar waktumu yang habis ditelan dering tanpa henti kata

Puisi Dari Bibirmu

Kita Adalah sepasang tatap mata Masih menyimpan sekulum senyum Sementara detak berkali terjatuh menuliskan puisi dari bibirmu yang ranum Aku Adalah sekumpulan cinta yang kau tuang ke dalam segelas rindu Kata, sapa, tatap mata itu Beku bersama segulung ragu Yang berkecamuk di hatimu

Beku Di Hatimu

Maaf telah menanam beku di hatimu Sebab cinta terlalu gila kuredam sendiri Sementara butir cinta luruh dari matamu Aku terjerembap dalam sesal yang menjadi Maaf telah menyirami kelopak rindu di hatimu Hingga kita tersadar dipertemukan kecup senja yang berbeda Menahan rasa di seuntas jingga sore perlahan tiada Membawa pergi ranum cintamu dari ranting hatiku

Seribu Lilin Untuk Angeline

Mari kita menabur bunga Pada rupa peristiwa Yang menguras air mata Dan remuk redam rasa di dada Atau amuk murka di kepalan tangan yang tak percaya Mengapa masih ada iblis berwajahkan manusia Merenggut nyawa semudah melepas ucap kata Mari kita nyalakan seribu lilin Pada nurani yang mati Ditelanjangi dikoyak emosi Disumpal oleh akal sehat yang tuli Tak lagi dengarkan rintih bocah minta henti Dari jerat tali di leher yang melingkari Mari kita bermawas diri Sebab kejahatan selalu mengintai Dari balik tatap orang terdekat yang tak pernah pergi Meninggalkan kecurigaan bahkan ketakutan yang ngeri Nyatanya tragedi memilukan kembali terjadi Dan mari kita berdoa Semoga tak pernah ada episode 'Angeline' lainnya #SadnessPoemForAngeline

Tuhan Yang Lain

Tembuni malam merayap membawa diam Di selasar kardus tubuh-tubuh terbujur dipeluk cekam Dibelai angin liar perlahan tajam merajam Di penghujung gelap Tuhan diserapahi geram Tuhan hanyalah sekumpulan uang Diburu sedari gelap hingga petang menghilang Dicari meski acapkali menghalalkan curi Menelanjangi malu yang tak henti berkali dicabuli Tuhan hanyalah sekumpulan rupiah jiwa serakah Yang merampas tangis malaikat di lengang malam sujud dan tengadah Membawa doa-doa ke langit muram yang tabah Menyaksikan geliat manusia tak lagi ber-Tuhan Maha Pemurah

Didih Kata

Kubaca kembali jejak langkah pena Baru saja kutemui terbis menganga Bersiap menelan pikirku yang mulai lumpuh tuk bicara Astaga! Di mana kutelantarkan isi kepala Sementara bait puisi berdesak meminta-minta Untuk kumuntahkan dalam didih kata-kata Celaka! Kembali harus kubaca Kembali harus kueja Sebelum hatiku mengeras baja

Biarkan Kita Saling Menukar Cinta

Biarkan kita saling berpegang tangan Sebelum lazuardi mulai cemburu menatap di kejauhan Sebelum ombak menderas mendekat berhamburan Sebelum waktu mulai bergulir coba memisahkan Dan biarkan kita saling menukar cinta Lewat ucap yang tak henti melisankan doa-doa mengetuk langit cinta-Nya

Otak Pas-Pasan? Kesuksesan Bergantung Kesungguhan

Al kisah Saat hendak menunaikan shalat Jumat, siang tadi, di masjid dekat rumah, ternyata seisi ruang masjid telah disesaki para jamaah Jumat. Padahal khutbah pertama saja belum dimulai, bahkan adzan pun belum berkumandang. Tapi memang masjid tersebut punya PR besar, yaitu menambah kapasitas masjid dalam menampung jamaah sholat disetiap momen sholat Jumat dan dua sholat Hari Raya (ied), sebab sudah bisa dipastikan overload saat sholat berjamaah di momen-momen itu. Padahal masjid tersebut sudah berdiri kokoh dengan 2 lantai sedari saya masih kecil. Dalam kebingungan mencari celah tempat duduk untuk sholat Jumat di lantai 2, terlihat sesosok wajah yang tak asing di benak saya. Ya, seketika saja memori ingatan berselancar ke masa lalu. Masa di mana sekolah dan mengaji adalah satu paket yang harus dijalani. Meski awalnya itu adalah titah yang memaksa dan mengikat dari orang tua. Tapi setelah dijalani dengan hati riang dan haus akan ilmu, ternyata semua aktifitas ilmu it...

'Terhormat'

Tak habis pikir jadinya Otak dan kepala pejabat (terhormat) tak ada isinya Hanya ada bogem serampangan dilepas liar di sana Di antara emosi gila mendarat di muka Katanya wakil rakyat Melawan bisik licik iblis saja tak kuat Katanya pejabat terhormat Mengotori amanah berlagak seperti jagoan hebat Entah apa yang kalian cari di sana Uang? Masih belum cukup rupanya Entah apa yang kalian ributkan di sana Harga diri? Itupun sudah tak pantas kalian punya Sudah!! Balik saja kalian jadi rakyat biasa Usah lagi datang dan berdiam di istana kami yang terhormat Sebab kalian sudah tak pantas mendapat hormat Tamat!!

Doa-Doa Tengadah

Dan hujan kembali melukis senyum rekah Di dedaunan basah Di rebah tanah Di jiwaku yang mencandu rinai hujan mengantar pada doa-doa tengadah Mustajabah

Cinta Di Kelebatan Hujan

Aku temukan cinta di kelebatan rinai hujan Terjatuh bersama berkah dan rahmat yang mencumbu rerumputan Ah, aku tak kuasa melukiskan ke-Mahaan-Mu dalam rupa sajakku Sebab hanya ingin kugenggam kasih-Mu dalam sujud dan lisanku Pada-Mu

Tikus-Tikus Berkuasa

Aku bertanya pada hitam Masihkah ada putih di sebalik sekam? Merangkak pergi dari gelap yang mengancam Mencari tuhan lumpuh yang biasa membawa gada Menegakkan adil tanpa pandang siapa Meski peluru dan darah mungkin saja sudahi nyawa Aku masih akan terus bertanya dan siaga Selama tikus-tikus masih mencuri cara Bagaimana meloloskan makan malam di meja paripurna Bagaimana menuntaskan kantong lapar dalam satu suara Sungguh celaka!! Tikus-tikus masih saja mau kuasa

Tuhan Batu, Tuhan Baru

Kita ini hidup di zaman batu Batu yang mewujud Tuhan-Tuhan palsu Di mana-mana habis diburu Dicari dan jadi majikan baru Di pasar gelaran menggoda rayu Di gelap goa-goa berbekal palu Kita ini hidup di zaman kegilaan Apa saja bisa menjadi Tuhan Harta, tahta, kuasa, dan batu berkilauan Yang 'katanya' sayang dilewatkan Yang 'katanya' punya kekuatan Sehari-hari dirawat dan dimandikan Sehari-hari menghamba pada yang diper-Tuhan-kan Kita ini hidup di zaman edan Segalanya tak lagi bisa dibedakan Mana hamba mana tuan Mana berhala mana Tuhan Sekian!

Negeri Para Pencuri

Inilah negeri para pencuri Tiba-tiba saja hukum menyisakan sangsi Siapa tersangka dan ditersangkakan sulit dipahami Mungkin kita mulai tak peduli Sebab politik adalah pentas kecil basa-basi Siapa mau kuasa bolehlah dibeli Yuk, siapa mau ikut berdiri? Tikus-tikus koruptor musnah harga mati!!

Dan Hujanpun Membawa Doa-Doa Menjemput Jawab-Nya

Gambar
Salam Pena Dalam catatan singkat ini, izinkan saya sedikit berkisah. Perihal sesuatu yang mungkin sangat tidak menarik untuk ditulis, terlebih dibaca. Tapi apapun itu, ini hanya sebuah tulisan, bahasa lain dari ucap yang ingin terbebaskan, lepas dari bisu yang memenjarakan. Oke, saya ingin mengawalinya dengan tanggal pernikahan. Hmmm , gak penting sih ! Gak penting buat gue (pembaca). Yup, sabar dulu ya… Saya resmi mempersunting Solikhati Anggraeny (istri saat ini) pada tanggal 30 Agustus 2014, sebulan pasca bulan Ramadhan. Pernikahan itu sepertinya agak menjadi kabar dadakan bagi sebagian sahabat di kantor PPPA DaQu CBD Ciledug. Bukan tanpa alasan. Siapa sosok yang akan diajak ke pelaminan selama ini memang terbilang misterius bagi lingkungan kantor tempat bekerja. Tidak pernah sedikitpun ada isyarat sahih siapa calon tunggal sang istri di pelaminan kelak, seperti apa sosoknya, orang dalam atau luarkah?. Maka tak ayal, saat penyebaran surat undangan pernikahanpun sebagian m...

Tentang Hujan

Pada episode hari ini Hujan masih berjatuhan menggenang sore mati Tanpa senja yang biasa menawarkan seni ilahi Tergantung di langit paling ujung Merambati kalbu hingga tatap mematung Ah, mungkin aku sudah terlalu rindu Pada hangat mentari yang memburu Sedari pagi bertandang gontai malu-malu Membawa pendar ke ubun-ubun dan mata sayu Tuhan Rupanya Engkau terlalu Pemurah Menyimpan doa-doa kecilku di antara dedaunan basah

Adakah Jakarta mulai berpikir?

Adakah Jakarta mulai berpikir? Melarikan diri dari segerombol prajurit banjir Yang siaga melumat setiap jengkal tanah terakhir Tenggelam oleh cekam rasa khawatir Adakah Jakarta mulai tak bersahabat? Laju waktu kian tergopoh dan melambat Sementara tubuh-tubuh diterjang sekarat Tertawan genang hujan dan sampah yang menjerat Sampai di sana aku hanya bisa berdoa Semoga Ia tak hendak menabur lara airmata Pada napas-napas jelata di mulut kali yang menganga Atau di kolong jembatan yang berteman bising ibu kota Semoga . . .

Telaga Doa-Doa

Hanya hening Yang terdiam di balik dinding Tak lagi ihwal hujan menelanjangi awan murung Atau gelegar kilat mengusik renung Hanya hatiku merindu kata Yang terucap dari bibirnya menjadi nasihat jiwa Menjelma suci telaga doa-doa Dan langkahku ringan menjejak nisbi dunia Duhai ibu Adakah engkau ingat? Pada laku kecilku yang nakal di ujung sore yang merambat Adakah engkau lupa? Pada gurauan jenakaku yang menyesaki tawa di tengah keluarga Rupanya kita tak pernah terpisah radius rindu Napas ini masih bersama nasihat-nasihat itu Nadi ini masih bersama doa-doa itu Darimu Ibu

Presiden Tawanan

Al kisah di negeri ini Ada presiden pusing sendiri Tersandera partai Berhadapan rakyat ramai Pilihannya antara melantik segera Atau tunda sambil pikirkan lain cara Si calon Kapolri rupanya gerah mulai mencari mangsa Wakil KPK diciduk dijadikan tersangka Satu-persatu ditahan dipidana Entah apa muasal itu semua Rakyat berbondong pasang badan Bersiap membela KPK tanpa bayaran Sebab cinta telah melekat di ingatan Tak ingin korupsi kembali menjadi tuan Di tanah pertiwi yang pesakitan Duhai Pak Presiden yang kami hormati Masihkah engkau terus patuh pada ibu Suri? Sementara rakyat menantimu tegas berdiri Sementara hukum menantimu di belakang kemudi Tak lagi tersandera partai dan petinggi-petinggi Tak lagi dipermainkan teror-teror banci Sebab bangsa ini sudah terlalu lama tersakiti korupsi

Si Tua Renta

Angin malam Melucuti tubuh Mencabik paru-parunya yang layuh Renta oleh leret usia kian menua Terpahat jelas di keningmu Benturan dan hempas kerikil-kerikil cobaan Tergurat sudah di hitam legam bahumu Terik mentari yang menjadi harga diri Menyengat sabar dan syukurmu Berjuang taklukkan getir menumpas riak-riak takdir Dan tubuhnya adalah karang Terkikis riak waktu Tergilas noktah kelabu Terhempas ke tepian abai mata tertuju Di bawah daun rindang ia tertidur Di selasar kotor ia terbujur Di lelapnya malam ia tersungkur Tercekat letih tak jemu menindih Mendekap sekotak jualan tak habis dijaja seharian Hingga celoteh pagi mengetuk hari Seirama kepodang mulai bernyanyi Sadarkan kantuk sudahi ringkuk Kembali menantang dunia sekuat raga Meski gontai berlari diterabas laju usia Dan esok, Semoga engkau tak lagi jelata Sebelum sajak ini berhenti bercerita Tentangmu di sana, di sudut-sudut kota tak terbaca ------ Tangerang, 11 Oktober 2012

Menuliskan Seteguk Cinta

Pada sajak yang tak henti beranjak Menukil ayat-ayat kecil Tuhan yang terserak Pada bait-bait puisi yang menjadi saksi Senandung renung ketukan lirih ilahi Pada duka peristiwa jalanan Pada rinai hujan tak bertuan Pada embun pagi di dedaunan Pada celoteh kepodang menanti siang Pada senja menggulung mentari Pada malam menutup hari Biarkan tinta ini menari Menuliskan seteguk cinta di hati Mengabarkan setetes lautan kasih ilahi robbi ------ Tangerang, 17 Oktober 2012

Kita Hanya Sedikit Peristiwa

Dan hujan pun mengerti Resah bumi lelah menanti Seribu laksa rinai hujan basuh jalanan Di hamparan tanah-tanah berdebu Di jalan becek yang mengusik rindu Ada riang kembali di sana Di rerumputan basah kini tertawa Di antara nyanyian burung yang bermanja Atau di lengkung pelangi yang lekas tiada Sejenak saja hadirkan pesona Tuhan di langit senja Dan kita pun terkadang lupa Ada sabar yang hilang ditelan lidah-lidah kelakar Hanya tersisa ludah-ludah si penjamah lapar Di hutan-hutan tak lagi kekar Di parit-parit desa tak lagi pugar Di bilik-bilik rumah tak berdamar Dan kita pun terkadang angkuh Ada syukur yang tak lagi hinggap di antara tafakur Menyelinapi sepenggal pagi dan malam sejenak tersungkur Panjatkan bait-bait doa yang lama terkubur Tergilas laju waktu dan irama dunia penuh lacur Dan kita Hanya sedikit peristiwa Ada, niscaya tiada ------ Tangerang, 19 Oktober 2012

Tak Pernah Ada Untuk Tak Saling Mencinta

Detik waktu Mengeja cinta di tepian hatimu Seperti debu Terhempas keliru mengendap di relungmu Seperti kita Hanya tertinggal sebongkah tanya Masihkah cinta selalu kau baca? Dari sudut rasa penuh dusta Bahwa kita tak pernah ada untuk tak saling mencinta Selamanya ------ Tangerang, 2 November 2012

Tentangku, Tentangmu

Tiada batas di antara kita Hanya rindu kini mulai terbata Tecekat rasa, liar mencari jawabnya Dan bisu kian membatu Menanti sebait kalimat yang kau tunggu Seirama lelah degup jantungmu Tentangku, Tentangmu ------ Tangerang, 2 November 2012

November Rain

November rain Rintik itu kembali memercik Memeluk semesta menghitung detik Tersaji bumi dingin mencekik Dan hujan perlahan mengintai Di antara desau daun yang melambai Mencekal riuh jalanan kian gontai Dan jiwaku semakin takjub Menikmati syair-syair Tuhan di sana Di pekat awan yang menghitam Di rinai hujan membasuh alam Atau di lengkung pelangi yang menghujam Menabur berkah rahmat ilahi Mengunyah bait-bait elegi Dan kasih-Mu, tak pernah jemu Engkau beri ------ Tangerang, 3 November 2012

Sekepul Nikmat Dunia

Asap itu Mengurung segenap amarah paru-paru Membunuh setiap jengkal kanan-kiriku Di antara kelakar mengiris waktu Di antara himpitan jemari beradu Di sela istirahat wajah-wajah abai itu Rokok, racun, badzir, kematian Bukankah detik terlalu berharga? Untuk kau tukar sebatang nikmat kepulan asap Bukankah tubuh teramat kau lupa? Untuk kau jaga amanat dari-Nya Bukankah rupiah keliru kau buang percuma? Untuk kau bakar serupa racun-racun kertas meraja Dan bukankah nisan masih bersuara? Tentang nyawa lekas dipenggal pisau gunting operasi Hanya tersisa tangis yang menjadi api Sebatang itu, sebungkus itu Mungkin hanya sekepul nikmat dunia ------ Tangerang, 7 November 2012

Sekolah Kandang Kambing

Sekolah itu Menganga tak berpintu Di tepian negeri tak beribu Di tengah desa tertinggal bisu Tentang mereka, si pejuang kecil penimba ilmu Berteman dua meja berbagi jenaka Berbagi dua bangku berdesak-desak nelangsa Tiada tembok beton perkasa menjaga Tiada atap sejuk setia siaga Tiada lantai berbagi getir sahaja Hanya bilik bambu mencambuk malu Hanya papan tulis-kapur menggurat pilu Hanya merindu tangan-tangan dermawan datang dan bantu Kandang kambing pun jadi sebutan Mencibir keras pejabat karbitan Duduk manis nimati culas jabatan Lupa warna tanah, lupa bait sumpah atas nama Tuhan Inilah negeri pesakitan Masih saja pendidikan sekadar lalapan Masih saja kebodohan sebatas tontonan Sementara kantong-kantong tuan semakin terisi Sementara tangis kian nyaring mencekik kaum tak beralas kaki ------ Tangerang, 9 November 2012

Syahadat Di Bumi Palestina

Tangis itu Memecah bumi di antara langit kelabu Di bumi syuhada Palestina Di bentang darah Jalur Gaza Kini tersisa rintih kepal membara Menggurat legam duka di antara epitaf pun bandusa Tubuh itu Seperti buih berhamburan Layuh diberangus ledakan kematian Gugur diregang malam yang menjadi terban Israel dan ironi terkubur mati Di antara air mata yang menjadi api Nyawa itu Mengabarkan luka-luka bisu Balita, remaja, dan wanita diterjang panas mesiu Di reruntuhan tembok-tembok berdebu Di jalan-jalan petaka melumat pilu Dan dunia, masih saja bungkam dan gagu Laskar itu Tak akan pernah hentikan langkah Tak surut nyali melawan mati Demi berkibar kalimat-kalimat suci Di bentang panji-panji jihad ilahi Robbi Syahadat di bumi Palestina ------ Ciledug, 19 November 2012

Tahu Dan Tempe

Tahu dan Tempe Lenyap sudah hadirmu di sana Di sudut-sudut warung nasi yang tak lengkap Di atas sajian meja sahur dan buka puasa yang ratap Atau di ramai pasar tradisional yang tiba-tiba lesap Terkubur bersama riuh aksi protes Atas kebijakan tuan-tuan pejabat yang tak beres Tahu dan Tempe Aneh rasanya nasi tanpa lezatmu Terbiasa bangsaku melahap nikmat puasi hasrat Meski hanya asin dan gurih yang terlewat Diantara kunyah tak berkuah Cukuplah buat mereka kenyang di atas resah Kembali lupakan getir tegar melangkah Tahu dan Tempe Mungkin hanya sedikit risau Terlukis di wajah mereka yang bilau Terbunuh oleh mandulnya taring pemerintah yang kacau Tak mampu suguhkan damai bagi negeri Negeri tanpa bakti pada pertiwi Dan esok pastilah jadi hidangan basi Berita hangat yang lantas tak pernah jadi arti

Seperti Engkau

Seperti jingga Luluhkan terik di bentang sore meraja Melumat pelita berganti malam dan lilin-lilin buta Terangi dawai jiwa dilebur mimpi dusta Seperti embun Menetes resap ke pusara telaga Berbagi sejuk menumpas cekik dahaga Menyemai kasidah Tuhan di sepanjang sajadah dunia Memetik hikmah butir-butir rahmat-Nya Seperti ibu Memapah langkah menapak gita cita Mengenyam petuah bijak merapal senandung asa Tak henti menggema langit-langit jenaka Seperti engkau Bersemayam di relung hati dan cinta Tentang bakti tak pernah tuntas diterjang batas usia Tentang jasa tak terbalas darah pun lautan airmata Tentangmu yang menjadi bidadari titipan surga ------ Tangerang, 22 Desember 2012

Di Relungku

Rindu Kini menjadi butiran debu Tertinggal senyum di lembaran waktu Ketika degup rasa menyiksa kalbu Ketika hati tak henti berkisah tentangmu Cinta Kini menjadi serpihan candu Tertinggal sepi di rekah jiwa tanpamu Ketika sajak-sajak rindu ditelan detik bisu Ketika rekah cintamu bersemayam manja di relungku ------ Tangerang, 26 Desember 2012

Rindu, Semoga Eangkau Tak Lantas Berlalu

Rembulan Rupamu tak nampak di lesung langit Tak jua hadir di busung bumi Terbias pekat labuhkan kesumat Di antara petir memecah tabir Menuntun awan di tepian lamunan Gemintang Pijarmu sembunyi di balik kelabu Seperti enggan berbagi seteguk sayu Terbunuh gigil malam kian memburu Di antara gerimis terjatuh ritmis Mencuri canda di secarik kisah tertinggal tanya Rindu Semoga engkau tak lantas berlalu Bersemayam lekat di bilik kalbu Biarlah malam melumat gerigi waktu Agar lekas kucumbu pagi setia menunggu Kembali memetik detik irama degup cintaku ------ Tangerang, 5 Januari 2013

Tuhan Semesta Cinta

Rinai hujan Menderai di pelukan rumput-rumput liar Bersama angin menikam resah paru-paru Terhampar basah gigil jalanan tak berbaju Kabarkan riang pada tanah dan kuncup bunga-bunga itu Langit murung Terbunuh pekat awan menggantung Bersama kilatan cekam tak berujung Memaksa riuh kembali ke pangkuan gubuk senandung Seperti cinta yang Tuhan tata terbagi rata Semoga tak lupa terbalas doa dan syukur pada-Nya Tuhan semesta cinta ------ Tangerang, 8 Januari 2013

Di Balik Hujan

Hujan kembali menangis Mengiris malam di lesap gelap tertawa sinis Meski rinai itu memercik ritmis Memeluk basah sekujur tubuh melawan tiris Dan raungan mesin kembali berontak Tak sabar menunggu kedipan lampu hijau Tercekal macet merayap menikam sabar Atau banjir membungkam gigil celoteh knalpot Tak berdaya menerjang isyarat alam yang murka Bukankah di balik hujan terselip azam tak pernah karam? Di antara doa tatkala terpanjat dan menghujam Pada Tuhan Yang tak pernah tuli pun terdiam Menjawab untaian harap dan tanya di tepian malam Karena Ia, Tuhan semesta alam Atau berkah yang terlupa terbakar geram Tertinggal gerutu semakin beringas bersemayam Dalam belukar jiwa penuh dosa kian terbenam ------ Tangerang, 15 Januari 2013

Banjir Ibu Kota

Banjir itu Menggenang di sekujur ibu kota Melahap tangis jalanan bising mesin tak bersuara Melumat sorak jelata terbujur di tenda-tenda duka Atau sungai hantarkan tiba-tiba ombak bencana Dimalam buta, dipagi gulita, disore merayap pun melata Hujan itu Menampar Jakarta lumpuhkan selaksa bingar Tertinggal tubuh-tubuh gigil kian terkapar Atau mayat-mayat si kecil dan si tua hanyut terdampar Tergurat di halaman depan surat kabar Menghapus titik berganti koma di lembaran putih kanvas sabar Nestafa itu Mungkin sedikit saja Tuhan hendak menguji Menegur sapa jiwa-jiwa suci Di antara uluran tangan redakan lengking tangis meninggi Atau syukur dan sabar dilebur enigma hari Doaku Semoga lekas nelangsa itu pergi Kembali tersenyum menatap detik waktu berganti ------ Tangerang, 17 januari 20013

Kembalilah di Pelukan Bilik-Bilik Bambu

Menikmati seteguk malam Selintas tembang mengayun diam Di antara petikan gitarnya yang karam Dan nyanyian asing menumpas peluh asam Suaranya beradu raung mesin mini bus Memaksa letih mencuri dahaga kian rakus Sepanjang hari menyemai serpihan tekadmu tulus Tergurat di garis-garis hitam wajahmu yang tirus Kembalilah engkau di pelukan bilik-bilik bambu Bersama episode malam telah lama menunggu Sekelebat mimpi dalam dengkuran kecil tidurmu Dan celoteh jangkrik mengusik rindu ------ Tangerang, 2 Februari 2013

Sekoci Rindu

Duhai kasih Berilah aku sekoci rindu Untuk kukayuh hingga dermaga cintamu Melintasi riak telaga hatimu ------ Tangerang, 15 Februari 2013

Kutemukan Tuhan Di Selembar Daun Gugur

Di selembar daun gugur Kutemukan Tuhan di semayam qalbu penuh syukur Atas segenap cinta-Nya tak terukur Melukis raut senja, melumat detik dunia ------ Tangerang, 21 Februari 2013

Lengkung Senyum di Bibirmu

Duri-duri rindu Kini menikam mengoyak qalbu Melucuti hari tiada temu Membenam hasrat terkubur waktu Dan kini Sungguh kurindu lengkung senyum di bibirmu ------ Tangerang, 2 Maret 2013

Bara Itu Kembali Menyala

OKU, Sumatera Selatan Bara itu Kembali mengoyak nisan-nisan tua Kembali menyulut letup-letup murka Membuka luka lama, diberangus dendam serupa Konflik yang melucuti hukum tak berdaya Dilahap penguasa kecil hukum rimba TNI Pasang dada bawakan kafan warna duka Dan segurat darah masih menjadi saksi mata Tentara muda gugur diterjang panas peluru Meski lakumu tak pantas ditiru Menerobos lalu lintas merah kuning hijau Hingga tersungkur dibekuk oknum polantas itu POLISI Meredam amarah taring-taring runcing Pasrahkan markas dirusak dibakar tiada geming Menumpas noktah hitam belumlah reda Ditimpa aib petinggi-petinggi rakus harta Simulator SIM dan ironi yang tak jemu menghias media masa TNI VS POLISI Masihkah negeri ini sanggup bermimpi? Tentang rasa aman kini mulai sulit dicari Tentang hukum kini mulai ditelanjangi Tentang sikap kini mulai abaikan nurani Tentang kita masih merangkak mencari tembuni pertiwi ------ Tangerang, 9 Maret 2013

Setapak Legam Matahari

Gurat di wajahmu Adalah setapak legam matahari Menampar keras liku hidup Mengoyak duka muda usiamu Meski awan terkadang meludahimu lewat irama hujan Meski mentari tak letih mengabarimu Tuhan yang tak pernah tidur Senja kini telah lengkung di bahu dan punggungmu Merampas kekar geliat raga muda itu Melawan himpitan getir nelangsa dunia Dan waktu Meleleh di keringat dahimu ------ Tangerang, 19 Maret 2013

Tentangmu, Tentangku

Dan kini kumengerti Lengkung manja senyum di bibirmu Adalah butiran embun di rekah bunga cinta Aku, Dan bait rindu yang kini menjadi sajak-sajak bisu Tentangku Tentangmu Tentang cinta yang tak musnah dicabik taring waktu ------ Tangerang, 31 Maret 2013

Ingin Kurengkuh Safa Cinta-Mu

Di lekuk malam aku terdiam Di antara selia rembulan menatap muram Dan malam kian berlari mendekap pagi Berteman laras jangkrik mengusik sunyi Lesap bersama desau mencumbu labium bumi Di epilog hari jiwaku menepi Kembali mengiba petuah-petuah kecil Ilahi Robbi Mencari tembuni bait-bait efusi Dalam sepenggal doa, Sungguh ingin kurengkuh safa cinta-Mu ------ Tangerang, 10 April 2013

Jas Merah, Saatnya Bergerak Menembus Riak

Mahasiswa Kala itu kita pernah bersua Di beranda ruang-ruang kota Kerontang daksa itu meringis miris Koyak nurani menohok ulu hati Merapal sketsa buram wajah negeri Terbunuh sengap diracun bulir mimpi Nyatanya kosong tak berisi Secangkir kopi lebih nikmat di antara selaksa ironi Dan engkau, jadi senja pelipur lara Mahasiswa Kala itu kita pernah bersumpah Di depan nisan yang kini menjadi sampah Dirajam peluru bedil-bedil serakah Mati dan hening dipenggal wajah-wajah pongah Guratkan bilur yang menjadi dengkuran kubur Tiada saksi senyum pun terasa lacur Dan engkau, jadi meriam robohkan diam Jas Merah Bukankah itu masa lalumu? Lenyap digerus acuh dan culas Kini tersisa geliatmu yang malas Tak peduli bisik keluh semakin mengeras Di antara denyut umat warna perjuangan itu Menanti selembar naungan kabar Atau secawan telaga redakan dahaga mereka Jas merah Bukankah usia mudamu isyaratkan asa? Meredah durja air mata di sana Terangi suram langit-langit kelam Ledakkan gelora redupkan bara angkara...

Melewati Mimpi Di Seuntas Tambang

Di atas riak sungai Menderas nyali kabarkan ironi Pada pemilik kelakar negeri Pada si tuan-tuan tuli Pada si tuan-tuan mati Dalam dengkur di tengah rapat terhormat Dalam pejam matamu rekat Anggota dewan yang katanya peduli rakyat Inilah negeri kepura-puraan Dengan segudang tragedi pendidikan Melewati mimpi di seuntas tambang Mengejar ilmu di tengah maut terbentang Inikah negeri yang katanya mulai berdiri? Berpijak kuat untuk berlari Nyatanya detik ini, Masih ada tangis pertiwi ------ Tangerang, 13 April 2013