Membaca, Menulis : Mempertegas 'Kedirian' Kita
Oleh : Meidi Chandra
Menulis Adalah Sebuah Kebahagiaan
Percaya atau tidak, menulis adalah sebuah kebahagiaan paripurna bagi seorang penulis. Tak lain, bagi seorang penulis sejati menulis adalah nyawa dan hidupnya. Melalui tulisan, seseorang bisa mewujudkan apa yang sebenarnya adalah mimpi kosong. Melalui kata-kata, seseorang mampu menghadirkan imajinasi ke dalam kumpulan makna, tak lagi makna yang tersesat dan liar. Pun melalui tulisan, penulis bisa menggugah motivasi pembaca, membagikan ilmu dan pengalaman, bahkan memengaruhi dunia. Maka tak heran bila tokoh-tokoh hebat nan inspiratif adalah mereka yang tidak hanya membekali isi kepalanya dengan ilmu, namun juga membahagiakan dirinya dengan terus menuliskan apa yang ada di ruang imajinasinya ke dalam tulisan.
Kita mungkin
tidak akan mengenal sosok Soekarno andai beliau tidak pernah menulis buku
Indonesia Menggugat, Ilmu dan Perjuangan, Membangun Dunia yang Baru, Di Bawah
Bendera Revolusi, dan lainnya. Pun hingga hari ini kita pasti tidak akan
mengenal banyak ulama besar semisal imam Syafii beserta khazanah ilmunya, manakala
beliau tidak pernah menulis kitab Al-Umm. Pun Imam Malik dengan kitab Al-Muwattha-nya, Ibnu Sina dengan As-Syifa, Al-Qanun-nya, Ibnu Rusyd dengan Tahafut at-Tahafut, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashidnya, Al-Ghazali dengan Ihya 'Ulum al-Diin, dan banyak lainnya. Lalu pertanyaannya adalah, apakah saat mereka menuliskan itu diawali karena motif ekonomi dan politik? Tentu saja tidak. Mereka menuliskan dan menuangkan ilmunya dengan rasa bangga dan bahagia. Dan yang lebih menakjubkan sekaligus mencengangkan adalah, mereka tetap produktif menuliskan karyanya di tengah keterbatasan, tatkala listrik, kemudahan teknologi dan pendukung lainnya (seperti saat ini) belum dikenal bahkan belum ada disaat itu. So, can you imagine?
Lalu, apa makna menulis bagi seoran penulis sastra? Nah, ini yang menarik. Tanpa melepaskan diri dari konteks menulis adalah sebuah kebahagiaan, perlu diketahui bahwa sastra sangat terikat oleh ragam kehidupan di mana masyarakat itu berada dan tumbuh dalam menilai, menikmati, dan mencintai sastra. Passion dan corak sastra di Eropa tentu akan berbeda dengan di Asia, begitu pula dengan di Timur Tengah bahkan Afrika. Sebab sastra bisa dikatakan sebagai cermin di mana masyarakat itu berdiam, berinteraksi, mengalami bermacam peristiwa, kemudian menghadirkannya ke dalam karya sastra. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh seorang George Lukacs, "fungsi narasi sastra merupakan refleksi (pantulan) kembali masyrakatnya. Setiap kehidupan yang dipilih dan dipilah itu diramu ulang oleh sastrawan dalam bahasa yang segar, tak terkecuali kilatan peristiwa yang paling tragis sekalipun. Pada umumnya karena penjabaran tepi-tepi kehidupan manusia itu dilakukan dengan cara yang tak biasa (seluruh proses bertemu dan kemudian dihidupkan kembali dalam temali kata dan kalimat), penilaian karya sastra sangat bergantung pada bagaimana dan dengan cara apa seseorang menikmatinya". Maka tidak mengherankan jika penulis sastra akan dengan mudah tersentuh hatinya untuk menuliskan peristiwa apapun ke dalam tulisan. Itulah dunia sesungguhnya bagi seorang penulis, dunia yang merupakan refleksi dari puzzle-puzzle kehidupan di mana dia berdiam dengan pikiran, kejujuran, keberanian, dan kebahagiaan untuk menuliskannya dalam rimba kata-kata. Bila sastra merupakan perwujudan daripada seni, maka -meminjam ungkapan seorang penyair Umbu Landu Paranggi- seni adalah Sangkan Paraning Dumadi, mempertanyakan kembali kedirian kita. Pada akhirnya, dengan menulis (karya/seni), adalah upaya kita untuk mempertanyakan, menjawab, sekaligus mempertegas kedirian kita.
Tanpa Membaca, Menulis Adalah Tubuh Tak Bernyawa
Membaca dalam
kamus seorang penulis tak lain adalah candu yang tak akan pernah bisa
dilepaskan. Akan sangat bohong bila ada seseorang yang mengatakan dirinya mampu
menulis tanpa membekali diri dengan membaca. Bahkan menjadi mustahil bagi
seorang penulis yang baik, bila apa yang dituliskannya adalah sekumpulan kata
yang tiba-tiba rubuh dan turun langsung dari langit ke tujuh. Impossible.
Seperti halnya
olahraga futsal yang menjadi candu bagi penulis (saya), maka membaca sepertinya sudah menjadi syndrome tersendiri dalam kurun beberapa tahun ini, dimulai ketika
masih terlibat aktif dalam dunia organisasi ekstra kampus di tahun 2004-2007. Sejak
saat itu (paling tidak dua bulan sekali) mulai rajin ke Gramedia pun sesekali
mampir ke Bookfair kampus dan nasional untuk hunting buku-buku. Dan entah
kenapa, saat kita mulai mengakrabkan diri dan mencintai buku, maka persepsi
kita menjadi lebih luas dan kaya tersebab apa yang diurai dalam ragam buku
tersebut membuat kita seperti membuka jendela-jendela baru yang selama ini (tanpa disadari) tertutup rapat.
Jadilah saya mulai mengenal novel, fabel, puisi, cerpen, politik, bahkan teori
filsafat. Dan kesemuanya itu tentu tidak mungkin didapatkan dalam literatur perkuliahan
kampus, terlebih saat itu kuliah di fakultas ekonomi. Melalui membaca kita akan
menemukan ruang tersendiri untuk bernalar, berimajinasi, bermimpi, bahkan mengembara
dunia tanpa batas. Itulah mengapa, membaca dan menulis adalah dua sisi
mata uang yang saling melengkapi dan tidak bisa dilepaskan, sebab, meminjam
ungkapannya Taufik Ismail, “Yang harus dimiliki
oleh pengarang agar bisa menulis karya yang benar-benar bagus adalah membaca,
membaca dan membaca, lalu menulis, menulis dan menulis."
Ada sebuah
pertanyaan kecil yang seringkali ditanyakan pada saya: “Minta pin BB-nya donk”, “Kenapa kamu ga pake BB? Hp kamu kan udah canggih
banget!”. Atau sederet pertanyaan lainnya seputar ragam sosmed yang saat
ini sedang popular di masyarakat luas. Ketika pertanyaan itu mulai menyerang,
biasanya saya hanya menjawab singkat sembari berkelakar: “Maaf, saya ga doyan BB (bebek), lebih doyan ayam goreng”. Atau
jawaban lainnya: “Saya sudah ga pakai
BBM, sekarang sudah beralih pakai BBG”.
Saya cukup
mengenal dan paham apa itu BBM, Twitter, Instagram, Path, atau mungkin lainnya berikut kelebihan dan
kekurangannya. Saat ini saya sudah merasa cukup hanya dengan menggunakan dua
jenis sosmed, yaitu Facebook dan Whatsapp. Keengganan saya untuk tidak
menggunakan BBM dan kemewahan sosmed lainnya bukan karena anti, namun lebih
kepada urgensi dan keberpihakan pada lebih banyak waktu untuk diri sendiri. Sejujurnya,
bagi saya (maaf bila berbeda cara pandang)
Facebook dan Whatsapp sudah mewakili keberadaan saya pada dimensi lain yang tak
berwujud fisik. Bila Facebook lebih banyak saya khususkan untuk merekam jejak pena
dan karya, maka Whatsapp lebih merekam sisi humoris, tak serius, dan apa adanya
saya dalam dunia yang separuh nyata.
Alasan
prinsip lainnya adalah dan ini paling utama, saya hanya tidak ingin tangan ini lebih
banyak pun lebih sibuk memegang handphone untuk membuka aplikasi sosmed daripada
memegang dan membuka lembar demi lembar buku bacaan. Sebab bagi saya, buku tetap
lebih membuat saya bahagia, berharga, dan bergizi ilmu bagi masa tua. Maka tak
heran, sebagai siasat konyol agar
setiap hari tak lupa membaca buku (seberapa
lembarpun itu), setiap malam buku wajib tersedia di atas tempat tidur.
Sejujurnya,
dewasa ini saya sedikit banyak justru lebih mengkhawatirkan impact perkembangan teknologi komunikasi
bagi manusia, yang (tanpa disadari) telah mengikis bahkan menghilangkan
dimensi interaksi fisik nyata dan lekat dalam memori manusia. Bahkan manusia saat
ini lebih intens berinteraksi dengan alat komunikasinya dan abai terhadap sekitarnya
(keluarga, masyarakat, dan lingkungan).
Bukan tidak mungkin, manusia masa depan akan mengalami sindrom akut
ketergantungan terhadap teknologi dan perlahan mengalami kepunahan kreasi,
penghargaan diri, dan identitasi diri. Pada titik ini, maka ada benarnya
kekhawatiran seorang jenius Albert Einstein terhadap masa depan manusia. Einstein
pernah mengatakan, “Aku takut pada hari di mana teknologi akan melampaui interaksi
manusia. Dunia akan memiliki generasi yang idiot”. So, think about it.
Maka
dalam prinsip kepenulisan saya yang paling sederhana, buku adalah prioritas
utama. Sebab tanpa membaca buku, tulisan akan mengalami kelumpuhan ide dan
kematian kata-kata. Dan yang lebih parah bagi seorang penulis yang kehilangan
pantulan gagasan pun imajinasi dari buku bacaan, adalah hilangnya kebebasan. “Aku rela di penjara asalkan bersama buku,
karena dengan buku aku bebas.” Mohammad Hatta.
nice article (y)
BalasHapusThank you :-)
HapusAlhamdulillah
BalasHapus.keren
Alhamdulillah. Terima kasih sudah berkenan mampir dan atas apresiasinya. :-)
Hapus